Wejangan dan Nasehat Kepancasilaan (1). Barang Apa Itu?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Pernahkah Anda menerima wejangan, peringatan dan nasehat berdasarkan pemahaman terhadap Pancasila oleh seseorang dalam kehidupan nyata Anda? Misalkan dia menyatakan begini, “Cobalah Anda bertenggang rasa dengan orang-orang yang tak seberuntung Anda dalam rezeki. Bisakah Anda menunjukkan empati dengan kemiskinan mereka? Bisakah Anda menahan diri untuk tidak bersikap boros dan pamer di hadapan masyarakat yang tidak semuanya sekaya Anda? Mengapa Anda mengisolasi diri secara ekslusif di pemukiman mewah sementara rakyat kebanyakan masih susah untuk menikmati rumah yang layak? Dan seterusnya sebagaimana yang dituntut oleh nilai-nilai yang terpantul dari Pancasila itu.

Saya rasa di zaman dimana filsafat hidup individualisme yang lebih dominan, nasehat dan wejangan berisi butir-butir Pancasila semacam itu tidak mungkin diperoleh.

Berarti jelas pengejewantahan filsafat Pancasila dalam kehidupan masyarakat tidak terjadi.

Ada banyak faktor yang menyebabkan filsafat Pancasila tidak manifes dan praksis dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Pertama, tidak adanya sosok teladan dalam mengejewantahkan Pancasila dalam kehidupan sosial.

Tidak seperti agama yang memiliki reward and punishment berupa dosa dan pahala saat mengamalkan dan meninggalkan tuntutan dan tuntunan agama, Pancasila tidak memiliki itu. Akibatnya, dorongan untuk mengamalkan Pancasila tidak terjadi dengan kuat. Lagi pula, para pendakwah Pancasila mereka pula yang kerap melanggar Pancasila. Poin ini penting direnungkan supaya harapan efektivitas Pancasila dalam kehidupan masyarakat tidak hanya berhenti sebagai harapan semata.

Kedua, memang tidak seperti agama yang sudah terdetailkan perintah, tuntunan dan larangannya, Pancasila tidak memiliki itu. Orde Baru pernah mengembangkannya dengan apa yang disebut butir-butir P4. Sayang, pengamalan terhadap butir-butir P4 tersebut sulit untuk dilihat hasilnya. Malahan menjadi sandingan dan tandingan bagi tuntunan agama yang sudah ada.

Sebenarnya memang Pancasila tidak diekspektasikan menjadi kode etik kehidupan secara rinci layaknya agama. Pancasila lebih kepada bagaimana dalam tindakan bernegara didasarkan oleh lima perkara, atau lima sila itu. Ibaratnya, dalam urusan bernegara, tidak boleh sesuka hati masing-masing. Ada dasar dan ketentuannya.

Hal ini sangat penting membawa negara agar berjalan sesuai dasar yang sudah disepakati sejak lama. Ini mencegah otokrasi, tirani, dan anarki. Fungsi Pancasila semacam ini menjadikan negara berjalan teratur dan akuntable. Masalahnya, seringkali proyeksi semacam ini tidak berjalan karena kuatnya penyimpangan terhadap kekuasaan. Akibatnya otokratik dan tiranilah yang berjalan seperti yang terjadi di masa Orde Lama maupun Orde Baru.

Pancasila di dua masa tersebut sepenuhnya diterjemahkan secara ekslusif, bias kepentingan dan jauh dari pengertian yang diakui secara umum. Akibatnya Pancasila tidak saja melenceng dari fungsinya, malahan dikerdilkan sekedar berfungsi untuk melegitimasi kebijakan dan proyek kekuasaan di masa itu.

Sekarang karena pengertian Pancasila akan banyak bergantung dengan penerjemahan dan arahan serta “fatwa” UKP-PIP yang digawangi oleh Yudi Latif, kita berharap Pancasila menjadi sesuatu yang dihargai oleh masyarakat, bukan sebagai mitos apalagi ideologi tertutup untuk pemukul lawan politik penguasa, namun sebagai sumber yang terbuka untuk digali lagi, diperbaharui, dikembangkan, dikontekstualisasikan dan diamalkan sebagai etika hidup berbangsa dan bernegara.

Malah saya mengharapkan, sasaran sosialisasi praksis Pancasila ini ditujukan kepada dua kelompok: pertama, kaum non pribumi yang biasa acuh tak acuh dalam urusan bernegara; kedua elit-elit baik sipil, polisi maupun militer yang miskin jiwa yang hanya mengejar kekayaan dan kekuasaan secara instan dalam negeri ini. Sebab kedua kelompok ini, senantiasa berkolaborasi untuk menggenggam kekuasaan ekonomi dan politik.

Nasehat dan wejangan Pancasila musti diprioritaskan kepada mereka supaya Pancasila benar-benar merata diketahui, dipahami, diamalkan, dibudayakan dan dijaga martabatnya.

~ Kyai Kampung