Tausiah

Kisah Seorang Mu’allaf Tionghoa (Bagian 8)

Nusantarakini.com, Jakarta – 

MENGETUK PINTU HIDAYAH (8)

Setelah pulang dari Haji Master, dengan diliputi rasa kecewa karena untuk belajar ilmu saja harus mempertaruhkan keyakinan yang saya anut sejak kecil, rasanya tidak mungkin terjadi. Tetapi keinginan untuk mencari ilmu begitu menggebu-gebu.

Selain dengan beliau, saya belum tertarik untuk berguru dengan orang pintar lainnya yang ada di kota Pangkalan Bun. Karena untuk mengatasi ibuku yang kerasukan terakhir banyak yang tidak sanggup. Menurut saya waktu itu, belum cukup tinggi ilmu mereka. Orang Jawa bilang belum mumpuni).

Rasa kecewa saya itu agak hilang ketika mendengar informasi bahwa di Desa Nanga Mua, tempat dimana saya menempatkan empat regu tebangan liar. Satu regu terdiri empat sampai lima orang. Di desa ini pula, saya jadikan basis untuk menampung hasil tebangan liar. Karena waktu itu para koordinator atau bos kecil menguasai desa-desa tertentu. Jadi tidak saling rebutan kayu. Yang waktu itu masih banyak sekali dan besar-besar. Kami juga tidak mau mengambil yang diameternya kurang dari 60 cm.

Saya menerima dari anak buah Rp. 70.000, dan kemudian dijual ke Perusahaan Rp. 11.000 perkubiknya. Itu terjadi pada tahun 80-an. Jadi pada saat itu boleh dikatakan secara ekonomi lebih dari cukup.

Perjalanan dari Pangkalan Bun ke Nanga Mua sekitar tujuh jam dengan angkutan Klotok (kapal kecil angkutan sungai). Suatu hari saya menumpang Klotok Bapak Amran (alm) berangkat ke Nanga Mua untuk mengantarkan beras, gula dan lain-lain untuk keperluan anak buah.

Desiran angin membuat saya mengantuk. Tertidur sebentar bangun lagi. Untuk menghilangkan rasa jenuh, iseng-iseng saya pinjam buku bacaan penumpang lain yang berjudul “I’tiqod Ahlussunnah Wal Jamaah”, karangan KH. Sirodjuddin Abbas. Di dalam buku tersebut sangat menarik, terutama membahas tentang sifat-sifat Allah yang 99. Dan aliran-aliran yang di luar Ahlussunnah.

Berdesir hatiku. Saya heran kenapa saya tertarik membaca dan menghayati isinya? Padahal kemarin waktu dibilang harus masuk Islam saja saya sudah tidak senang dan kecewa. Kenapa dan ada apa dengan diriku? Tidak ada yang bisa menjawabnya karena pertanyaan itu hanya ada di dalam hatiku.

Rasa kantuk pun hilang. Ketika hampir selesai membaca ternyata kami sudah sampai di tempat tujuan, Nanga Mua. Buku yang saya pinjam pun diminta kembali sama empunya.

Sesampai di Nanga Mua, saya menemui orang “pintar” itu. Ternyata beliau adalah orang yang paling ditakuti di desa tersebut. Katanya karena bisa mematikan orang (santet). Setelah panjang lebar disertai dengan sikap melas, akhirnya beliau mengajak saya ke gubuk di pinggiran hutan yang hanya bisa dijangkau dengan angkutan sampan, dan berjarak lebih 10 km dari Nanga Mua. Gubuknya setinggi dua meter dari tanah dikelilingi Pohon-pohon dan Sungai Arut yang berjarak 500 meter.

Dua hari saya diberi wejangan dan mantra (bukan do`’a). Hari ketiga beliau bilang mau ke kampung dulu dan saya ditinggal. Beliau bilang, kalau malamnya beliau belum kembali, maka saya harus masuk kelambu yang dimantrai.

Setelah menjelang matahari tenggelam, tetapi beliau belum datang juga, saya mulai was-was. Dan ada rasa takut. Mau menyusul pulang, perahu tidak ada. Akhirnya saya pasrah. Perkiraan saya, waktu mendekati tengah malam suasana makin mencekam. Suara macam-macam binatang berbunyi.

Tiba-tiba ada suara tertawa perempuan melengking. Makin lama makin dekat. Akhirnya saya mendengar suara itu pas di serambi gubuk. Saya gemetaran. Mau lari rasanya kaki lemas. Tanpa terasa celanaku basah, mulutku terkunci, mantra yang diajarkan jadi lupa. Apalagi samar-samar saya lihat ke pelataran gubuk ada sosok yangg lalu lalang di pelataran gebuk (waktu itu terang karena bulan purnama). Saya tidak tahu apakah itu yang dinamakan Kuntilanak atau Sundel Bolong. Saya tidak berani mengeluarkan suara yang mengundang perhatian makhluk itu. Saya takut kalau makhluk itu masuk ke kelambu.

Rasanya ingin cepat pagi dan guru cepat datang.

Begitu saya mau merasa lega karena makhluk itu pergi, tahu-tahu ada suara tertawa melengking lagi. Beruntung saya tidak jatuh pingsan saking takutnya. Sampai akhirnya terdengar suara ayam hutan berkokok. Dan suara itu pun menghilang dan tidak kembali lagi sampai matahari terbit. [mc]

Bersambung…….

*Ustadz Abdul Hadi (Lay Fong Fie), Pakar Pengobatan Tradisional dan Ahli Spiritual, Pendiri Perguruan Tenaga Dalam “Hikmah Sejati”, Yogyakarta.

Selengkapnya

  1. Kisah Muallaf bagian 1
  2. Kisah Muallaf bagian 2
  3. Kisah Muallaf bagian 3
  4. Kisah Muallaf bagian 4
  5. Kisah Muallaf bagian 5
  6. Kisah Muallaf bagian 6
  7. Kisah Muallaf bagian 7
  8. Kisah Muallaf bagian 8
  9. Kisah Muallaf bagian 9
  10. Kisah Muallaf bagian 10
  11. Kisah Muallaf bagian 11
  12. Kisah Muallaf bagian 12
  13. Kisah Muallaf bagian 13
  14. Kisah Muallaf bagian 14

Terpopuler

To Top