Membongkar Tradisi Kebijakan Instan Pemerintahan Jokowi

Nusantarakini.com, Jakarta –

Berubah cepat. Baru seminggu kebijakan Menteri Keuangan diumumkan langsung dicabut. Kemarin hari Rabu, 7 Juni 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merevisi kebijakannya tentang nilai rekening yang harus dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak. Jika sebelumnya melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 70 tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangam untuk Kepentingan Perpajakan, Pemerintah mengharuskan pemilik rekening bank dengan nilai minimal Rp 200 juta untuk melaporkan diri ke Direjen Pajak. Kini pemerintah mengubahnya hanya untuk pemilik rekening bank dengan nilai minimal Rp 1 Milyar.

Kebijakan publik menurut Chief J.O. Udoji (1981) adalah suatu tindakan (pemerintah) yang bisa dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi, yang memiliki tujuan tertentu yang diarahkan untuk mengatasi suatu permasalahan yang mempengaruhi sebagian warga masyarakat. Kebijakan publik dapat berupa keputusan tertulis maupun tidak tertulis untuk bertindak atau tidak bertindak atas satu permasalahan tertentu di dalam masyarakat.

Karena memiliki kekuatan memaksa melalui sanksi bagi yang tak mentaatinya, pemerintah di setiap negara biasanya membuat kebijakan dengan penuh pertimbangan dan hati-hati. Kajian dibuat dengan melibatkan para pakar terkait dan seringkali juga mempertimbangkan pendapat masyarakat melalui forum dialog publik. Sebelum diberlakukan, suatu kebijakan publik juga memerlukan masa sosialisai agar masyarakat paham dan dapat menerimanya dengan baik.

Proses pembuatan kebijakan publik yang demikian lama dengan proses kajian, pertimbangan dan konsultasi yang lama diperlukan untuk menjaga ketenangan dan kenyamanan warga negara. Ketenangan dan kenyamanan hidup warga merupakan kunci kehidupan harmoni suatu negara yang pada akhirnya akan memperkuat ketahanan negara. Demikian sebaliknya, warga yang panik dan ketakutan akan membahayakan ketahanan suatu bangsa.

Bisa Anda bayangkan apabila satu kebijakan ekonomi membuat masyarakat panik akan kesulitan membeli bensin misalnya. Mereka akan berbondong-bondong memborong bensin yang dapat menyebabkan kekacauan sehingga keamanan negarapun terganggu. Singkat kata, kebijakan publik yang dibuat secara instan dan terburu-buru adalah hal yang sangat berbahaya bagi kehidupan suatu bangsa.

Mengherankan semenjak memenangkan Pemilu tahun 2014 lalu, Pemerintahan Presiden Jokowi telah berkali-kali membuat kebijakan instan. Kebijakan yang dibuat terburu-buru, terkesan tanpa melalui pertimbangan mendalam, apatah lagi melalui konsultasi publik dan sosialisasi terlebih dahulu sebelum dilaksanakan. Akibatnya ketika kebijakan dilepas dan mendapat reaksi negatif dari publik, maka kebijakan-kebijakan tersebut segera dicabut dengan terburu-buru pula.

Berikut ini adalah beberapa kebijakan Pemerintahan ini yang dibuat secara instan oleh Pemerintah Jokowi dan yang kemudian buru-buru diaborsi setelah diprotes secara luas:

1. Tentang Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja. Pada tanggal 27 Oktober 2014 Presiden Joko Widodo menerbitkan Perpres Nomor 165/2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja. Namun kemudian Perpres tersebut dicabut dengan penerbitan sejumlah Perpres yang mengatur tiap-tiap kementerian.

2. Tentang Unit Staf Kepresidenan. Pada tanggal 31 Desember 2014 Presiden Jokowi menerbutkan Perpres nomor 190/2014 tentang Unit Staf Kepresidenan. Namun dua bulan, pada 24 februari 2015, peraturan itu direvisi dengan Perpres Nomor 190/2014 tentang Kantor Staf Presiden untuk mengubah namanya mengubah namanya serta memperluas kewenangannya.

3. Kebijakan kenaikan uang muka pembelian kendaraan pejabat. Pada tanggal 23 Maret 2015 Presiden Joko Widodo memberlakukan Peraturan Presiden mengenai kenaikan uang muka pembelian kendaraan pejabat negara melalui penerbitan Perpres Nomor 39/2015 mengenai tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan. Setelah mendapat protes luas, Perpres itu akhirnya dibatalkan.

4. Kebijakan Pencairan dana Program Jaminan Hari Tua. Pada tanggal 1 Juli 2015 Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 46/2015 soal Program Jaminan Hari Tua (JHT) yang mengubah pencairan dana JHT yang semula untuk masa kerja lima tahun menjadi 10 tahun. Setelah mendapat protes dari para pekerja, Presiden Joko Widodo kemudian merevisi PP, walaupun sebelumnya telah menandatangani PP tersebut. PP nomor 60 tahun 2015 dibuat sebagai revisi yang membolehkan pekerja yang terkena PHK untuk mencairkan dana JHT hanya sebulan setelah berhenti bekerja.

5. Kebijakan Larangan Beroperasi Ojek Daring. Pada tanggal 9 November 2015 Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengeluarkan Surat Pemberitahuan tentang Larangan Beroperasi Ojek Daring melalui Surat Pemberitahuan nomor UM.3012/1/21/Phb/2015. Larangan ini dilandasi alasan bahwa ojek dan taksi daring tidak memenuhi syarat seperti yang ditentukan dalam UU nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah nomor 74 tahun 2014 tentang angkutan jalan. Hanya sehari setelah larangan ini resmi dimumkan, lalu dibatalkan oleh Pemerintah karena Presiden tidak setuju.

6. Tentang Badan Ekonomi Kreatif. Pada 20 Januari 2015 Presiden Jokowi menandatangani Perpres Nomor 6/2015 mengenai Badan Ekonomi Kreatif. Tak berapa lama kemudian Perpres ini direvisi karena badan tersebut belum bisa merekrut pegawai atau mencairkan dana anggaran negara untuk mendanai program.

7. Tentang Jenis dan Tarif atas Penerimaan Negara Bukan Pajak. Pada 6 Desember 2016 Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2016 tentang Jenis dan tarif atas penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Namun pada satu kesempatan, Presiden Jokowi mempertanyakan adanya kenaikan tarif pengurusan surat kendaraan yang tercantum dalam PP yang ditandatanganinya tersebut dan meminta pengunduran pelaksanaannya.

Pada April 2015 sebuah media berbahasa Inggris sempat mengejek Presiden Jokowi dengan judul bombastis, “I don’t read what I sign” karena kesalahan tanda tangan yang dilakukannya. Anggota MPR Jazuli Juwaini juga sempat dikutip menyayangkan Presiden karena mempertanyakan kebijakan yang ditandatanganinya sendiri terkait Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kepolisian RI. Ironis bahwa setelah kejadian itu Pemerintah masih mengulangi beberapa kesalahan kebijakan yang kemudian segera diaborsi setelah mendapat kritikan publik. Kebiasaan kebijakan instan ini tak hanya berpotensi menurunkan kewibawaan Pemerintah, namun juga berpotensi menyulut kegaduhan dan kekacauan bangsa utamanya jika kebijakan yang diambil menyangkut keperluan hidup rakyat banyak. (TU)