Kisah Seorang Mu’allaf Tionghoa (Bagian 3)

Nusantarakini.com, Yogyakarta – 

MENGETUK PINTU HIDAYAH (3)

Setelahh kejadian kerasukan jin Sungai Buun, kondisi ibuku beberapa hari agak lemah dan pucat. Syukurlah hal tersebut tidak berlangsung lama. Selang seminggu kemudian, pelan tapi pasti kondisinya semakin membaik, makin sehat dan sudah bisa tersenyum.

Yang menarik adalah perhatian tetangga yang jaraknya paling dekat 200 m dari rumah kami. Kebetulan rumah satu-satunya di dalam pabrik di pinggir sungai itulah kami tinggal. Suasana memang cukup seram, dimana sekeliling rumah adalah pabrik dan gudang serta sungai tanpa listrik.

Sungai tersebut digunakan tetangga untuk mandi, mencuci dll. Maka kalau malam hari di atas pukul 18.00 sudah sepi sekali. Kecuali malam minggu ada acara Aneka Safari di TVRI, tetangga pada datang nonton. Maklum waktu itu kami satu-satunya yang memiliki TV hitam putih yang bentuknya seperti lemari. Karena itu hiburan satu-satunya walaupun layarnya masih penuh dengan “semut.” Di isitulah tercipta keakraban kami dengan tetangga.

Sejak kejadian kerasukan jin, mereka (tetangga) kalau mau mandi dan mencuci selalu singgah menanyakan kondisi kesehatan ibu. Hal ini membuat hati saya tersentuh, begitu baiknya tetangga-tetanggakuku yang mayoritas beragama Islam tersebut.

Tanpa terasa walaupun waktu berjalan begitu cepat, sekitar 3 tahun kami tinggal di kota Pangkalan Bun. Hari-hari dilalui dengan penuh rasa damai, keakraban dan keceriaan. Dan keceriaan makin terasa ketika perut ibuku mulai membesar. Harapan untuk mempunyai adik lagi mulai terasa. Semakin hari perut ibuku semakin membesar. Perkiraan sudah hamil 5 bulan (karena selama ini tidak pernah periksa ke dokter dan bidan. Lain dengan sekarang).

Keceriaan kami akhirnya terkoyak dengan kejadian yang mendadak pada tengah malam. Ibu merintih kesakitan yang hebat, sambil memegang perutnya. Kami mengira itu sakit perut biasa seperti umumnya orang.

Tapi jadi panik ketika dari “xxx” keluar darah, semakin lama semakin banyak. Akhirnya kami meminta tolong tetangga. Spontan mereka berdatangan memberikan bantuan. Ada yang langsung ke RS untuk memanggil mobil ambulans. Kemudian ibuku dimasukkan ke dalam ambulans dalam kondisi yang hampir pingsan, lemah sekali, tidak kuat lagi merintih. Sementara sarung sudah basah dengan darah. Pendarahan. Ambulans membawa kami menuju RS dengan perasaan cemas. Cemas sekali.

Begitu sampai di RSU Sultan Imanuddin, ibuku langsung dimasukkan ke Indonesia. Kami menunggu di luar pintu ditemani tetangga yang ikut menyusul. Berbagai perasaan berkecamuk di hati kami. Apalagi melihat kondisi ibu yang sudah lemah sekali tidak kuat mengangkat tangan, tidak kuat membuka mata dan mulut terkunci.

Sebelumnya ibuku sempat berbisik dengan lirih. “Jagalah adikmu baik-baik.” Yang dimaksud adalah si bungsu Achui yang kala itu baru umur 5 tahun. Apakah ini pesan terakhir ibu…??

Menjelang subuh, dokter mencari kami (bapak, kakak dan saya ). Setelah bertemu kami, dokter mengatakan bahwa kondisi ibu tergantung besok. Karena kondisinya lemah sekali dan perlu transfusi darah. Sedangkan stok darah yang sejenis habis di RS. Kalau besok kami bisa mendapatkan darah yang sejenis, maka kemungkinan ibu masih bisa tertolong, tapi kalau tidak, maka terpaksa kami harus ikhlaskan ibu dipanggil yang Maha Pencipta.

Kami berunding dengan tetangga bagaimana caranya mengatasi masalah ini. Atas saran tetangga agar kami minta bantuan Kodim yang biasa donor darah.
Waktu berjalan rasanya lambat sekali. Kami ingin agar matahari segera terbit, karena kami berkejaran dengan waktu. Menurut dokter bila tengah hari tidak ada transfusi darah maka beliau tidak bisa berbuat apa-apa. Pasrah.

Ketika waktu menunjukkan pukul 07.00 kami ditemani tetangga bertemu Komandan Kodim memohon bantuan donor darah karena darurat. Beliau bersedia membantu. Siangnya RS penuh dengan tentara yang mendonorkan darahnya. Kami terharu.

Kami keturunan Cina yang lain agama dibantu dengan sepenuh hati oleh tetangga dan tentara yang mayoritas beragama Islam. Hatiku kembali tersentuh. Orang Islam yang selama ini saya tidak suka ternyata berada di garis depan ketika kondisi kami kejepit seperti itu. Apa yang akan terjadi tanpa bantuan mereka yang tanpa pamrih itu? Saya tidak bisa membayangkannya.

Sekitar pukul 11.00 lebih, sudah terkumpul beberapa kantong darah dari para pendonor (tentara Kodim). Sehingga pukul 12.00 siang mulailah dilakukan transfusi darah. Begitu darah sudah menetes turun, mendadak ibu menggigil kedinginan sampai giginya pun berbunyi. Kami panik dan sedih sekali. Perawat berusaha menenangkan kami dengan mengatakan tidak apa-apa karena itu hanya proses awal transfusi darah, nanti akan reda menggigit nya.

Tapi kami dan sebagian tetangga yang menyaksikan kejadian itu, tanpa bisa membendung tetesan air mata yang mengalir ke pipi. Kami tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah. Tak kusangka cobaan yang begitu berat untuk ibuku dari YME.

Padahal selama ini, dari ketika saya masih kecil sampai saat remaja, beliau tidak pernah berbuat yang melukai hati orang dengan ngrumpi, memfitnah, menjelekkan orang lain, memaki orang lain, tidak pernah mendendam dengan orang-orang yang telah menyakiti, Menghina nya. Jiwa beliau semakin matang dengan berbagai cobaan hidup, tapi fisiknya semakin melemah.

Setelah beberapa kantong kantong darah sudah mengalir ke dalam tubuh ibu. Pelan beliau membuka mata yang sangat sayu, dan dengan pelan beliau menyebut satu kata, “….Adikmu….”

Itulah yang dicari, buah hatinya, si bungsu Achui yang masih berumur 5 tahun. Kami membawa si bungsu mendekat. Mencium pipi ibu sambil menangis. Dengan tangan yang lemah, ibu membelai rambut si bungsu Achui. Semua yang menyaksikan adegan itu tidak dapat menahan idak tangis. Terharu..sungguh terharu…(tanpa terasa air mataku pun mengalir ketika menulis dan membayangkan adegan itu). Saya tidak bisa membayangkan perasaan si bungsu kalau saat itu ibuku dipanggil olehNya.

Syukurlah, akhirnya kesehatan beliau semakin membaik. Dan setelah dua minggu dirawat, ibuku di perkenankan rawat jalan. Cuma ada satu berita dari dokter yang membikin kami was-was dan khawatir, yaitu penyakit ibu adalah kehamilan anggur (Mola Hidatosa) yang sewaktu- waktu bisa kambuh…….. [mrm]

Bersambung………

*Ustadz Abdul Hadi (Lay Fong Fie), Pengasuh Pedepokan Hikmah Sejati Yogyakarta.

 

Selengkapnya

  1. Kisah Muallaf bagian 1
  2. Kisah Muallaf bagian 2
  3. Kisah Muallaf bagian 3
  4. Kisah Muallaf bagian 4
  5. Kisah Muallaf bagian 5
  6. Kisah Muallaf bagian 6
  7. Kisah Muallaf bagian 7
  8. Kisah Muallaf bagian 8
  9. Kisah Muallaf bagian 9
  10. Kisah Muallaf bagian 10
  11. Kisah Muallaf bagian 11
  12. Kisah Muallaf bagian 12
  13. Kisah Muallaf bagian 13
  14. Kisah Muallaf bagian 14