Siapakah Para Pembisik Jokowi Yang Bikin Politik Makin Panas? Ini jawabannya

Siapakah Para pembisik yang mmepengaruhi langkah langkah Jokowi? Itu pertanyaan publik, karena setiap presiden tentu saja ada pembisiknya.  Lingkaran Jokowi cukup beragam, atau tepatnya banyak yang berlomba mendekat. Tetapi dari sekian lingkar itu, kelompok mana yang paling efektif membisiki Jokowi atau didengar beliau?

Kalau dirunut dari kejadian-kejadian politik yang ada, dapat dirumuskan benang merah yang menjelaskan bagaimana dan dari siapa bisikan itu muncul. Ada tiga kunci pembeda, yaitu pendekatan atau ciri aksi politiknya, motif atau kepentingan dan tokoh-tokoh terkait. Mari kita cermati dari 7 kasus/kejadian terbesar di bawah ini.

  1. Sikap mendukung Ahok dan mendorong Ahok melepas jalur independen.
  2. Pola dan pesan kampanye pada pilkada 2012, pilpres 2014 dan pilkada DKI 2017.
  3. Blunder Budi Gunawan, pengusulan ke DPR dan mitigasinya.
  4. Sikap terhadap aksi 411 dan 212, termasuk penolakan bertemu utusan pendemo pada aksi 411.
  5. Reklamasi.
  6. Kasus Freeport dan Setya Novanto.
  7. Kasus kriminalisasi Abraham Samad.

Dari kejadian-kejadian ini, dapat disimpulkan beberapa pola umum.

Pertama, ada narasi ‘aku dan engkau’ yang kuat. Dalam kampanye pilkada, selalu diciptakan narasi pembeda antara para pendukung Jokowi dengan pihak di luarnya. Dalam respons terhadap aksi 212 dan 411 juga ada narasi demikian. Karena itu segala kritik pada Jokowi dipandang sebagai aksi konspiratif dari ‘engkau’ untuk mengganggu kredibilitas dan posisi ‘aku’; dalam hal ini Jokowi.

Kedua, pendekatan konspiratif selalu dikedepankan, baik untuk menyikapi aspirasi masyarakat, menanggapi lawan politik maupun untuk memulai langkah politik tertentu. Contoh terkuat dalam hal ini adalah kasus Abraham Samad yang dicari kesalahannya dan akhirnya terjungkal dari kursi pimpinan KPK. Pendekatan seperti ini juga dipertontonkan dengan percaya diri pada kasus Freeport dan kembalinya Setya Novanto jadi pimpinan DPR. Pendekatan kriminalisasi juga tampak pada aksi mereka pada lawan-lawan politik Jokowi, termasuk pada pilkada 2017.

Ketiga, tokoh-tokoh yang berada dalam lingkar Jokowi dan memiliki aset untuk merumuskan dan mengeksekusi dua hal di atas dapat diidentifikasi merujuk pada beberapa orang. Diduga Luhut Binsar Panjaitan, Hasto Kristiyanto dan Anggit Nugroho selalu berada dalam lingkaran ini. LBP tampak jelas di semua kasus. Hasto diduga sebagai pelaku untuk model-model kriminalisasi dan gerak politik BG serta pilkada DKI 2017. Rumornya Hastolah yang diduga mendorong agar Jokowi meminta Ahok melepaskan jalur independen dan percaya pada infrastruktur PDIP. Sementara Anggit percaya betul pada teori konspirasi serta narasi ‘aku-engkau’ yang terlihat jelas pada nasehatnya pada Jokowi untuk tidak menemui utusan unjuk rasa 411. Bahkan baru kali ini Kompas cetak menyebut namanya dalam pemberitaannya di halaman pertama, 5 November 2016.

Tokoh-tokoh pembisik ini berhubungan satu sama lain dan beroperasi dibantu oleh lingkar lainnya. Lambock Nahattands adalah orang Luhut yang beroperasi dekat, termasuk memberi masukan soal pelantikan Djarot hanya 6 jam setelah Ahok ditahan, penahanan Ahok dan rencana remisi pada akhir 2017 nanti. Komunikasi Hasto-Luhut dan KPK dirawat melalui Deputi.

Penindakan Heru Sunarko yang merupakan skondan lama Luhut. Ini menjelaskan mulusnya aksi penjungkalan Abraham Samad, dilepasnya pasal TPPU dari dakwaan Setya Novanto pada kasus e-ktp serta penyebutan nama Amien Rais dalam kasus alkes. Jalur lain dirawat oleh Alexandra (Sandra) Retno Wulan PhD, akademisi CSIS yang merupakan anggota tim 11 dan sekarang bertugas sebagai sespri Presiden.

Sandra yang dekat dengan Rini Soemarno, merupakan jangkar untuk memberi masukan pada Anggit Nugroho yang sebenarnya sudah menjauhi Luhut dan Hasto. Geng Solo sebenarnya sudah berusaha menjauh tetapi tetap kekunci karena lingkar saling membutuhkan yang dikelola Sandra. Sandra selain input konspirasi-politik dalam analisis yang disusunnya juga bertindak sebagai jangkar untuk menggalang sumberdaya dari kalangan BUMN.

Mencermati tiga kesimpulan ini maka dapatlah dipahami mengapa suhu politik tidak juga turun bahkan setelah pilkada 2017. Prasangka konspiratif dan narasi ‘aku-engkau’ mengilhami langkah-langkah yang justru memanaskan suasana dan tidak terasa berupaya merangkul berbagai kelompok berbeda. Jokowi –atas bisikan mereka ini– malah tidak bertindak sebagai kepala negara yang akuisitif dan merangkul semua kalangan tetapi justru bersikap defensif, divisive dan berprasangka konspiratif pada masyarakatnya.

Cilakanya ini diperparah oleh lingkar buzzers media sosial yang tersisa dari laskar Jokowi pada 2014. Sisa-sisa yang ada, Kang Dede, Kurawa, Renny Fernandes, Gunromli, Goenawan Mohamad dll, sebenarnya bukanlah mesin utama buzzers Jokowi kala itu dan justru menjadi titik lemah karena malah memperkuat narasi ‘aku-engkau’ dan prasangka konspiratif dalam geraknya pada periode hari ini.

Jadi apakah suhu politik akan segera turun? Tampaknya tidak. Berkat para pembisik ini.(FTN).