Budaya

Sekolah Idaman, Nggak Selalu Jadi Pilihan

NusantaraKini.com

#Buah Renungan # SEKOLAH IDAMAN NGGAK SELALU JADI PILIHAN

Oleh : Ahimsa Swadhesi

Aisyah Ratu yang waktu itu bingung cari lokasi rumahku, akhirnya bertanya pada salah seorang tetangga di kampungku. “Nyuwun sewu, tau rumahnya Wardah nggak ya?”

“Oh, Mbak Wardah, tau, tau,” kata si ibu tetanggaku. “Anak Teladan itu ya?”

“Teladan?”

“Iya, SMAN 1 Jogja itu kan?”

“Bukan, bukan. SMAN 6, Bu,” kata temanku membenarkan.

“Loh, nggak ada, Mbak. Adanya Wardah itu SMAN 1 Jogja.”

Welah. Piye? Tapi temanku mencoba untuk bertandang dulu ke rumah si Wardah yang dimaksud si ibu itu. Ternyata betul, dia ke rumahku. Saat ia bercerita rasanya … nyesss.

Juga sama halnya seperti Novan Akbar, anak SMA Taruna Nusantara yang mengirimiku private message, “Dah. Wardah.”

Ketika kutanya ada apa gerangan, dia bilang, “Aku mau nitip undangan buat anak Teladan.”

Jeng jeng. “Weh, lah kok ke aku? Aku bukan anak Teladan,” jawabku.

Lalu dia minta maaf atas kekeliruannya. Oh my Allah. Huh. Tragis? Banget! Sebenernya masih banyak fenomena-fenomena memilukan yang senapas dengan itu.

Gagal paham deh kenapa bisa begitu. Mungkin karena dulu semasa SMP setiap ditanya, “Mau masuk SMA mana?” jawabanku satu dan seolah pasti di situ “SMAN 1” berhias senyum meringis sok manis. Ekekek.

Aku cukup sering sih memamerkan mimpiku. Pernah di facebook aku posting foto para alumnus Teladan yang berjejer di depan sekolah dan aku tempeli tulisan, “Hai Wardah! Kami menunggumu! Sukses UN yaaaa :3” uh, rasanya kalau ingat itu jadi pengen menghantamkan kepala ke tembok. Duh. Duh. Innalillah.

Miris lagi, sohibku, Ismail Sani, yang kita kerap tukar-tukar cerita dan dia rajin doain aku masuk Teladan pada akhirnya pun dia doang yang masuk sana. Hmmmm. Oke, suksesmu, San!

Juga ada kisah seorang sohib lain, rahasia ya namanya, pilu banget karena pernah memotivasi cewek (yang dulu) dambaannya untuk masuk Teladan, eh, ternyata dia sendiri nggak bisa masuk sekolah itu, dan si ceweknya masuk. Ugh, I can’t explain that feeling. Nggak perlu aku sebutkan namanya kan? Hohoho.

Cerita sedih lain yakni bahwa aku dan sohib sejatiku, Sekar Langit, harus menerima nasib untuk kehilangan mimpi bertemu kembali di Teladan. Padahal almost 3 tahun kita punya harapan besar berjodoh lagi di sana. Finally, aku harus bertani ilmu di lahan Namche dan dia di Smada.

Setelah pengumuman penerimaan, aku nangis guling-guling tiga hari tiga malam. Keterima di Namche rasanya kutukan. Pokoknya benar-benar sengit karena jadi makhluk lemparan. Sampai tiap Babe dan Ibu ngajak ngobrol cuma tak sahut, “Hmm hmmm” atau geleng-geleng.

Kayanya aku nggak mungkin bisa melanjutkan hidupku di Namche. It feels almost like that. Terbayang berbagai percobaan bunuh diri yang harapannya bisa menghilangkan kegelisahan. Tapi ternyata membayangkan mayat yang bergelantungan atau darah yang berceceran malah membuat hatiku semakin histeris tidak karuan. Intinya, ada perasaan yang kalang kabut di masa awal sekolahku. Uhuhu.

Hari ini, Juni 2017, bulan idamanku, aku mencoba memutar kepalaku ke masa lampau. Bagaimana kemudian aku melalui masa-masa SMA-ku?

Euforia jadi siswa baru ternyata benar-benar langsung menyergapku. Gimana enggak? Tepat sekali momen lustrum sekolah terjadi di tahun kami masuk, 2014. Cukup membuatku terhindar dari time for crying, yang teralihkan dengan kesibukan mengoleksi id-card kepanitiaan acara. Wahaha.

Pun aku menemukan anugrah Allah berupa teman-teman dengan isi kepala yang luar biasa. Teman-teman dengan karakter yang berbeda. Teman-teman yang mencipta pasang surut di lautan sanubariku bilamana kita bersua. Itu jauh lebih menguras pikiran, tenaga, dan waktuku daripada sekadar menggalaukan mantan calon sekolahku.

Nah, ya kan, jangan suka galauin mantan makanya.

Tapi, memang, berat sekali tak akui. Berat menghadapi kenyataan bahwa mimpiku ke Teladan harus dibumihanguskan, diluluhlantakkan, diporakporandakan. Namun, seperti Hidanul Achwan pernah mengutipkan, kata Rhenald Kasali, “Setiap langkah yang terasa berat, artinya anda sedang meningkat. Setiap langkah yang terasa biasa, artinya anda turun tingkat.” Benarlah. Aku memang sedang meningkat saat itu. Bersamaan dengan segala kekecewaan aku belajar bahwa setiap keinginan tidak selalu sampai kepada sebuah pencapaian.

Aku tidak pernah terbayang menemui dinamika melelahkan di Namche. Di OSIS. Di Rohis. Di sudut-sudut sekolah. Kunikmati segala rasa senang dan bersitegang di sini.

Lalu tanpa kode-kode, Allah yang begitu romantis memberiku surprise yang datang bulan lalu. Memang sekolahku bukanlah yang paling idaman, tidak menonjol, malah kadang muridnya sendiri malas bersyukur ada di sana (based on true story). Tapi Allah memberitahuku malam itu, “Ahimsa Wardah Swadeshi. Kun! Engkau mahasiswi Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada. Kun fayakun!”

“Oh my Allah,” kata yang enggan hilang kemudian di dalam syukurku.

Ibu sebelumnya udah khawatir kalau-kalau aku nggak lolos SNMPTN. Melihat betapa aku sedang “on fire” di organisasi pergerakan membuatnya cemas, “Kapan belajarnya?” Sudah berpikir-pikir akan dicarikan bimbingan belajar di mana pula, seharga berapa juga, sedang keuangan keluar posisinya agak carut marut. Tapi pada akhirnya Allah menunjukkan jalan dengan cara yang benar-benar romantis.

Mungkin alasan aku di Namche adalah untuk menerima kebahagiaan ini. Alasan aku di Namche untuk menemukan tujuan Allah yang sebetulnya. Bisa kukatakan sebaliknya, bila aku di Teladan, akankah aku bisa semudah ini diberi jalan? Aku kira tidak.

Tangis-tangis galauku terjawab. Kegundahan dan kegelisanku terbayar. Sesuai dengan apa yang diungkapkan guru Biologi SMP-ku, Pak Ajik, “Jadilah seperti biji kedelai. Di manapun kamu jatuh di situlah tempat terbaikmu untuk tumbuh.”

Aku belajar banyak. Sebuah selipan pula, Sekar Langit yang akhirnya bertani ilmu di lahan Smada, kini membuatku merinding karena hamdalah sudah sah menjadi mahasiswi baru Psikologi Universitas Gadjah Mada. Dia menelponku di hari pengumuman sambil mbrebes mili. I know that feels … ketika ada banyak kebahagiaan yang susah diungkap lewat kata-kata.

Belum lagi, sohib laki-laki yang di awal tidak bisa masuk Teladan pun, akhirnya hamdalah sudah diterima di Teknik Arsitektur Universitas Gadah Mada. Masya Allah!

Hari ini di atas aspal yang Engkau pilihkan, juga usia yang masih Engkau izinkan, aku mengucap syukur tak tergadaikan. Sehingga sebuah pesan ingin kusampaikan pada teman-teman lulusan SMP yang mungkin baru saja dikecewakan dengan nilai Ujian Nasional yang angkanya “dianggap” mengerikan.

Silahkan menangis, tapi jangan sampai waktumu habis. Kalau kata yang paling sering diucap Ulima Nabila biar segar dan sadar, “Basuh mukamu!” dan lihatlah sekolahmu punya segudang potensi yang eman-eman kamu abaikan.

Ada sebuah sesal dalam batinku kalau ingat Namche adalah sekolah Research tapi aku nggak pernah berhasil meneliti apapun. Namche punya sekolah ukuran mini yang nggak aku syukuri padahal dengannya kita nggak perlu ngeluh kalau mau ke ujung sana dari ujung sini. Namche punya ibu kantin yang rajin manggil sayang ke sesiapapun, tapi baru kurindukan ketika ibunya sudah jaranv datang. Namche punya banyak yang tidak aku sadari.

Fyuh, jangan jatuh dengan banyak mengeluh. Allah selalu punya alasan di setiap keputusan. Sedikit banyak rasa miris ketika ada teman berseru, “Ah wis, sekolahku ki opo Mbak, udah nggak guna aku belajar apa-apa, nanti juga nggak akan jadi siapa-siapa.” Cukuplah kamu keluar dari pemikiran itu untuk menemukan “Woh, ternyata aku yo iso!”

Tetaplah teguh. Lagu dangdut aja, “Jatuh bangun aku mengejarmu,” maka untuk mengejar mimpi jatuh bangun itu adalah sesuatu yang berarti! Ayo bangun lagi! Allah mboten sare.

Yogyakarta, 8 Ramadhan 1438 H

Terpopuler

To Top