Analisa

Pengamat: Persepsi Umat Islam Negatif, Pilpres 2019 Jokowi Kalah?

Nusantarakini.com, Jakarta –

Bagaimanakah Persepsi politik umat Islam Saat ini tentang Jokowi, Muchtar Effendi Harahap
peneliti dari (NSEAS: Network for South East Asian Studies) menulis dalam makalahnya yang berjudul PERSEPSI UMAT ISLAM POLITIK TENTANG JOKOWI. Adapun lengkapnya tulisan dari Muchtar sebagai berikut :

Hasil survei terbaru Kompas menyebutkan, elektabilitas Jokowi 41,6 persen. Padahal sebelumnya Menko Maritim menyebutkan, elektabilitas Jokowi masih di atas 50 persen. Bagaimanapun hasil survei ini sangat lemah dijadikan dasar untuk memprediksi kemenangan Jokowi Pilpres 2019 mendatang.

Survei dilaksanakan dalam kondisi Jokowi tanpa pesaing aktif. Tentu tak salah pendukung Jokowi meyakinkan publik, elektabilitas Jokowi paling tinggi di antara para pesaing ditentukan lembaga survei. Angka di atas 50 persen atau 41,6 persen elektabilitas Jokowi kini tergolong rendah karena Jokowi lagi berkuasa sebagai Presiden. Jika terdapat pesaing aktif bersama jaringan pendukung bisa jadi angka tersebut merosot ke angka 30 persen, bahkan 20an persen, dan menjadi sangat mungkin kalah.

Salah satu faktor mengapa Jokowi Pilpres 2019 sangat mungkin kalah, yakni persepsi negatif umat Islam politik tentang Jokowi. Persepsi negatif ini akan meningkat menjadi sikap politik menolak atau tidak menghendaki Jokowi lanjut sebagai Presiden RI melalui Pilpres 2019 mendatang. Beragam bentuk sikap politik menolak, antara lain dukungan terhadap Capres bukan Jokowi. Bisa jadi seperti kasus Pilgub DKI. Yakni sikap politik ASBAK atau ABAH, bermakna “Asal Bukan Ahok”. Untuk kasus Jokowi ini, bisa muncul slogan “Asal Bukan Jokowi” atau ABJO!

Jumlah umat Islam politik ini sekitar 33 persen dari total suara pemilih. Dasar kriteria antara lain keseluruhan suara pemilih parpol Islam atau berbasis Islam. Angka 33 persen ini ditemukan sejak Pemilu 1955. Diperkirakan, untuk Pileg 2019 mendatang terdapat pertambahan sekitar 40 persen. Salah satu indikator dapat ditunjukkan kasus kekalahan telak Paslon Ahok-Djarot atas Paslon Anies-Sandi dilabeling umat Islam sebagai Gubernur Muslim.

Untuk setiap Capres bukan berasal dari kelompok umat Islam politik, dengan metode pemilihan langsung kini, harus mendapatkan suara dari kelompok umat Islam Politik ini. Kemenangan SBY dua kali sebagai Presiden tidak terlepas dari dukungan kelompok umat Islam Politik melalui Cawapres Jusuf Kalla dan parpol Islam. Begitu pula kemenangan Jokowi, tidak terlepas dari dukungan umat Islam politik melalui Cawapres Jusuf Kalla. Secara sosiologis sesungguhnya Jusuf Kalla ini berasal dari kelompok umat Islam politik. Beliau bahkan di samping mantan aktivis HMI dan petinggi KAHMI nasional, juga Ketua atau pemimpin Organisasi/Dewan Masjid tingkat nasional. Di PB NU juga beliau juga sebagai petinggi.

Dukungan umat Islam politik terhadap Jokowi Pilpres 2019 sangatlah minim dan takkan signifikan memenangkan Jokowi. Mengapa?

Pertama, umat Islam politik memiliki persepsi atau opini negatif terhadap Rezim Jokowi kini, terutama sikap politik Jokowi terhadap keberadaan umat Islam politik dalam dinamika politik kekuasaan di Indonesia dewasa ini. Umat Islam politik menilai, Rezim Jokowi anti umat Islam dan suka mengkriminalisasi Aktivis dan Ulama Islam. Penilaian ini sangat terang menderang saat sejumlah tokoh Islam mengadu ke Komnas HAM tentang kriminalisasi Aktivis dan Ulama Islam.

Satu contoh persepsi negatif umat Islam yakni pernyataan Presidium Alumni 212. Mereka menghimbau dan meminta Presiden Jokowi, Menkopulhukam, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan seluruh jajaran aparat dibawahnya, antara lain menghentikan segala bentuk kedzaliman-kedzaliman bentuk “kriminalisasi”, fitnah, tuduhan makar, pelanggaran Ham dan diskriminasi hukum yang sampai saat ini masih terus terjadi kepada para Ulama, Ustadz, Aktivis-aktivis Pro Keadilan, para Mahasiswa dan juga Ormas Islam (HTI dan Yayasan Keadilan).

Mereka juga melakukan perlawanan hukum dan Jihad konstitusional melalui saluran KOMNAS HAM dengan membentuk TIM INVESTIGASI dan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) untuk mengusut tuntas segala pelanggaran HAM yang dilakukan Rezim Penguasa dimaksud. Mereka telah mendatangi Komas HAM.

Mereka juga menuntut agar membebaskan Ustadz Alkhoththoth dkk dari tuduhan makar serta mengeluarkan mereka dr penjara.

Pada 31 Mei ini mereka adakan konferensi pers di Jakarta terkait ditetapkannya Habib Rizieq sebagai tersangka dan kedzaliman Rezim Jokowi yang sampai saat ini masih terus terjadi terhadap para Ulama, Aktivis pro keadilan, mahasiswa dan ormas Islam HTI.

Kasus dijadikan Ustad Alfian Tanjung sebagai Tersangka dan ditahan bersamaan hari penetapan Habib sebagai Tersangka, juga memperkuat persepsi negatif umat Islam.

Contoh-contoh lain persepsi negatif umat Islam bisa ditemukan di berbagai media massa, media sosial dan forum diskusi umat Islam.

Penilaian umat Islam di media sosial dapat ditemukan sebagai berikut: Pertama, upaya kriminalisasi Ulama masih terus berlanjut, belum selesai: Dr.Habib Muhammad Rizieq Shihab, Lc, MA, KH.Bahtiar Natsir, Lc, MM, dan ulama lainnya.

Kali ini Ustadz Dr.Alfian Tanjung, M.Pd, salah satu Ulama yang aktif menyuarakan ‘Bahaya Laten PKI/Komunis’ dalam beberapa forum diskusi, dakwah bahkan hingga menulis buku mengenai PKI dan Komunisme di Indonesia. Telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri.

Belakangan ini bahkan dimunculkan isu tentang Amien Rais menerima uang hasil korupsi pengadaan alat kesehatan di Kementerian Kesehatan tahun 2005. Jumlahnya Rp 600 juta, ditransfer enam kali. Amien Rais adalah salah seorang tokoh Islam sangat kritis terhadap Rezim Jokowi.

Kedua, politik ekonomi Indonesia condong ke Cina (RRC) dinilai sebagai upaya untuk membuka diri Indonesia bangkitnya kembali paham komunisme. Cina dinilai masih tetap sebagai negara penganut komunisme dan anti terhadap Agama Islam. Faktor kedua ini umumnya diangkat ke publik oleh umat terpelajar pendidikan tinggi. Tidak pada level massa akar rumput.

Sejumlah aktivis dan Ulama yang dijadikan tersangka,terdakwa dan terhukum pada dasarnya memiliki suara kritis/kecaman, dan menolak masuknya investasi Cina di Indonesia. Tentu saja mereka sebagai oposisi ini harus dikelola atau dikendalikan dengan cara2 tertentu, antara lain kekerasan administratif. Busa jadi kelompok aseng gunakan asong di lembaga penegak hukum untuk menekan umat Islam anti investasi Cina ini. Mereka bekerja sama untuk mengelola oposisi investasi Cina ini, bisa jadi tanpa kehendak Jokowi.

Ketiga, umat Islam politik menilai Jokowi lebih memihak dan melindungi Ahok sebagai penista agama Islam. Tuntutan umat Islam agar Ahok dipenjarakan dan diadili melalui beberapa aksi bela Islam, Jokowi akhirnya memenuhi tuntutan Ahok diadili melalui keputusan Polri menjadikan Ahok Tersangka. Namun, tuntutan Ahok dipenjarakan, hingga Ahok berstatus Terdakwa tidak pernah dipenjarakan. Padahal bagi umat Islam, semua penista agama di Indonesia masih tahap status Tersangka saja sudah dipenjarakan. Selanjutnya, meskipun Ahok sudah Terdakwa, Jokowi tetap tidak mau memutuskan agar Ahok diberhentikan sementara sebagai Gubernur DKI Jakarta. Akibatnya, Parmusi salah satu ormas Islam mengajukan gugatan kepada Presiden Jokowi melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PUTN) DKI Jakarta. Majelis Hakim memutuskan menolak gugatan Parmusi ini.

Faktor ketiga ini mencapai strata bawah atau akar rumput umat.

Keempat, persepsi dan sikap negatif umat Islam politik ini dapat mempengaruhi keterpaksaan pimpinan PPP dan PKB selaku parpol Islam tidak mendukung resmi Jokowi. Akibatnya, parpol pendukung Jokowi berkurang tinggal empat parpol. Yakni PDIP, Golkar, Hanura dan Nasdem.

Faktor ini hanya mempengaruhi dinamika politik elite PPP dan PKB Kurang mempengaruhi prilaku pemilih konstituen mereka sendiri. Dukung resmi atau tidak terhadap Jokowi Pilpres 2019 sungguh tidak berpengaruh pada prilaku konstituen ditentukan pimpinan umat Islam informal atau nonparpol.

Karena itu, faktor dominan umat Islam tidak mendukung Jokowi adalah faktor pertama, yakni persepsi negatif umat Islam tentang Jokowi. Namun, persepsi negatif ini belum tentu berangkat dari pengetahuan dan pemahaman umat Islam tentang realitas obyektif yang faktual. Bisa jadi persepsi negatif ini tidak sesuai dengan kenyataan faktual. Inilah kerangka berpikir untuk itu.

Terkait kasus Habib Rizieq dijadikan Polri sebagai Terdakwa, Presedium Alumni 212 menyampaikan pernyataan sikap dan surat terbuka. Salah satu pernyataan, yakni sikap dan perlakuan Rezim Penguasa Jokowi yang sdh sangat zalim kpd ummat Islam dan para ulama ini, yang dianggap telah melanggar dan merekayasa hukum ini, juga telah melakukan diskriminasi hukum kepada ummat Islam dan para ulama ini, “harus segera dihentikan”. Intinya kelompok ini mengesankan, Jokowi telah melakukan kriminalisasi, bukan lembaga atau kekuatan lain di luar Presiden Jokowi itu sendiri.

Hal ini juga terlihat pada konferensi press Tim Pembela Habib Rizieq pimpinan Eggi Sudjana. Menekankan jangan dibenturkan umat Islam dengan institusi Polri. Dikesankan, keputusan Habib Rizieq sebagai Terdakwa urusan Presiden Jokowi.

Selanjutnya, Komunitas Sarjana Hukum Muslim Indonesia (KSHUMI),
menolak segala bentuk kriminalisasi terhadap ulama, ormas Islam, aktivis dan umat Islam, termasuk terhadap ajaran Islam dan simbol-simbolnya, khususnya yang secara telanjang dipertontonkan atas penetapan status Tersangka Habib Rizq Syihab. Lalu, mereka mengingatkan Pemerintah (Presiden Jokowi) agar tidak menyalahgunakan kekuasaan.

Obsessionnews membeberkan opini Ketum Parmusi (Persaudaraan Muslimin Indonesia) Usamah Hisyam terkait Jokowi ini. Ia mengingatkan agar Jokowi tak terjebak dalam rekayasa tingkat tinggi segelintir pembantu sehingga terbangun kesan di kalangan umat Islam, pemerintahan ini sangat otoriter dan sangat memusuhi Islam.

“Penahanan Ustadz Al Khattath, penahanan ustadz Alfian Tanjung, penetapan Habib Rizieq sebagai tersangka dalam kasus cinta abal-abal, cenderung merupakan upaya balas dendam atas dipenjarakannya Ahok oleh PN Jakut ketimbang penegakan hukum. Dan langkah-langkah aparat Kepolisian ini secara jelas dapat membenturkan Presiden dengan ummat Islam. Saat ini mulai terbangun kebencian sebagian ummat Islam kepada Presiden yang terkesan membangun pemerintahan otoriter. Ini semua gara gara langkah aparat keamanan yang cenderung represif. Padahal sejak awal Pak Jokowi itu simbol civilization movement ,” ujar Usamah Hisyam.

Seorang peneliti politik pemerintahan tentu akan mempermasalahkan: apakah faktual Presiden Jokowi menjadi faktor dominan atau variabel utama sehingga Habib Rizieq dijadikan Tersangka? Bukankah kekuatan ekonomi politik di luar Presiden Jokowi bisa melakukan hal itu? Apakah benar motip kriminalisasi untuk mempertahankan pengaruh atau elektabilitas Jokowi? Apakah aktivis dan Ulama dikriminalisasi karena anti politik ekonomi Indonesia condong ke Cina (RRC)? Jika beberapa pertanyaan ini dapat dijawab, bisa jadi klaim atau tuduhan, Jokowi melakukan kriminalisasi, tidak sesuai realitas obyektif atau tidak faktual. Adalah irasional atau tidak masuk akal Jokowi melakukan hal itu. Mengapa? Sebagai seorang politisi atau penguasa, tentu dia akan berupaya mempertahankan kekuasaan melalui Pilpres 2019 mendatang. Mengkriminalisasi aktivis dan Ulama Islam, tentu kontroversial dengan upaya itu. Justru dia kehilangan dukungan dan kekuasaan berkurang. Apa solusinya?

Jokowi harus mengklarifikasi siapa sesungguhnya pelaku/aktor kriminalisasi. Tentu saja, Jokowi harus menghentikan dan membebaskan aktivis dan Ulama dari upaya setiap kekuatan ekonomi politik meminimalisasi atau mengendalikan/mengelola prilaku oposisi investasi Cina berkembang pesat di Indonesia era Jokowi ini.  [mc]

Terpopuler

To Top