Budaya

Nasib Pancasila Di Antara Kursi Reyot dan Kursi Pak Bos

Nusantarakini.com, Jakarta –

Di sebuah kursi reyot di pinggir sebuah desa, Kakek Suminta menikmati pemandangan sawah, istirahat di depan rumahnya selepas pulang dari kebun. Kursi reyot itu satu-satunya kursi yang dimiliki, tempat pavorit mengisi santai. Maklum, ia hanya seorang rakyat kecil, di sebuah desa jauh dari kota.

Kakek Suminta tak tahu, bahwa hari ini para pegawai kantor, aparat desa hingga presiden memperingati hari lahir Pancasila. Ia juga tak tahu, bahwa orang-orang lagi trend menulis status #sayapancasila di setiap akun sosmednya. Jangankan bisa beli paket internet, HP saja belum pernah memegangnya.

Kakek Suminta bukanlah orang kota yang bisa pidato tentang Pancasila. Mengkampanyekan hastag #sayapancasila. Namun para tetangga yakin bahwa ia salah seorang pancasilais dari jutaan orang pancasilais yang tersebar di negeri ini. Ia menjaga tindak-tanduk sehari-harinya, pun cinta negerinya. Ia tahu betul kisah perjuangan kemerdekaan dari para leluhurnya. Setiap hari kemerdekaan RI mengikuti upacara di balai desa, dan tegap saat Indonesia Raya dinyanyikan. Ketika melihat lambang Garuda Pancasila di kantor desa, ia pun tahu bahwa itu lambang negara. Ia tak neko-neko, rajin ibadah, gemar bergaul dan menolong orang sekitar semampunya. Kakek Suminta menjaga prilakunya, dalam kapasitasnya sebagai rakyat biasa.

Dari desa kita loncat ke kota. Duduklah seorang pejabat negara di kursi empuk di kantornya. Sebut saja pak Bos. Di ruangannya ada burung Garuda bertengger gagah di dinding, bendera merah putih, gambar presiden dan wakil, serta atribut-atribut kebangsaan. Ia baru datang dari sebuah upacara, diantar mobil dinas negara. Jabatannya keren, orang penting di negeri ini. Urusan Pancasila, pak Bos ini jangan ditanya. Hafal sila-sila, pengisi materi kepancasilaan, upacara kenegaraan pun makanan rutinnya.

Apakah pak Bos ini paling Pancasilais? Tergantung! Ia hafal bahwa negara berdasarkan pada (1)Ketuhanan Yang Maha Esa, tapi apakah ia taat beribadah, tak mengambil hak orang lain, tidak korup, jujur dan amanah atas jabatannya.

Dan yang lebih berat lagi sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Apakah ia pancasilais atau tidak, tergantung cara ia bekerja. Jika masa jabatannya ia habiskan hanya untuk upacara-upacara, pidato-pidato, tak pernah sedikitpun berfikir dan bertindak untuk rakyat, untuk membangun kesejahteraan rakyatnya, maka kursi empuk kekuasaan telah menjadi saksi bahwa ia penghianat Pancasila.

Lebih-lebih jika ia justru lebih mementingkan karirnya semata, korup, bekerjasama dengan para perusak negara, kongkalingkong dengan para cukong pengeruk kekayaan negara, dzalim kepada rakyat. Ia bukan hanya tidak pancasilais, ia adalah musuh Pancasila itu sendiri…

 

~ Ahmad Muzakkir

*catatan kecil dari rakyat biasa, sambil ngabuburit menunggu bedug magrib

Terpopuler

To Top