Ketika Habib Rizieq Menjelma Jadi Pemimpin Paling Ditakuti Oleh Rezim Jokowi (2)

Nusantarakini.com, Jakarta –

Setelah hampir sepuluh tahun tak bertemu dengan tokoh besar ini, karena situasi saya kembali bertemu dengan dia. Saya dan teman-teman yang tergabung dalam Keluarga Besar Alumni, pagi itu meluncur ke Puncak, Megamendung. Tujuannya adalah bertemu dengan Habib Rizieq. Dia telah menunggu kami di sana. Tepatnya di Pesantren miliknya yang terletak di kawasan perbukitan Megamendung.

Di jalan tol menuju Ciawi, saya terus memantau perkembangan. Sekitar pukul sebelas, saya peroleh berita dari media online, Ahok resmi dijadikan tersangka. Waktu itu adalah 16 November 2016. Akhirnya, mitos Ahok orang kuat yang tak tersentuh hukum, jebol sudah. Siapa yang menjebol psikologi mitos itu, kalau bukan Habib Rizieq yang mampu memobilisir massa sekira satu juta lebih pada 4 November 2016.

Tekanan massa itu yang hampir merebut istana tersebut, sepenuhnya dalam komando Habib Rizieq. Tiba-tiba pengaruh dirinya melambung.

Untuk mencapai pesantren ini tidak mudah. Melalui Ciawi terus masuk menuju Megamendung hingga ke ujung perkampungan. Lalu bertemu sebuah kawasan hutan milik Perhutani. Setelah itu, mobil merayap masuk hutan dengan jalan tanpa aspal.

Seringkali mobil kijang inova yang kami kendarai berjoget kiri kanan karena jalan yang berlumpur, berkelok dan berlobang.

Setelah melewati kawasan hutan dalam perkiraan waktu selama dua puluh menit, kemudian menukik ke atas bukit, maka gerbang pesantren milik FPI itu menyambut di hadapan kami.

Mobil terus mendaki dan kemudian singgah di parkiran pesantren.

Saat saya tiba di pesantren itu, azan zuhur telah berkumandang. Kami bergegas mengambil air wudlu dan langsung menuju mesjid untuk sholat zuhur berjamaah.

Selesai sholat, di luar mesjid menuju tempat jamuan makan siang yang telah dia sediakan kepada kami dan tamu-tamu lainnya, saya menghampirinya. Saya salami tangannya. Saya perkenalkan diri sekedarnya. Dia berkomentar ringan, “Oh…antum, ya. Saya tahu. Ayo, ayo kita ke sana.” Dia mengarahkan kami menuju tempat makan siang.

Tempat itu sederhana. Bangunan kecil berlantai keramik, dengan dinding separuh sehingga dapat melihat keluar.

Di situ sudah menunggu juga tamu-tamunya yang lain. Rupanya di antara tamu itu, ada yang sekedar bersilaturahmi, dan ada pula yang mengatur komunikasi untuk Aksi Bela Islam 2 Desember yang akan dilakukan.

Menunya enak. Ayam goreng yang ditaburi sarundeng kelapa, sayur lodeh, tempe bacem, sambal, dan banyak lagi.

Kami, tamu-tamu Habib, dan Habib sendiri duduk bersila, melingkari menu makanan yang dihidangkan di depan masing-masing.

Habib dengan ramah dan hangat menjamu kami semua. Selesai makan, saya mendengarkan pembicaraan tentang perkembangan situasi secara langsung dari Habib. Banyak informasi mengejutkan yang dikeluarkan oleh Habib.

Lalu kami diajak ke tempat biasa dia menerima tamu. Tempat itu sungguh unik. Bangunannya bulat, diisi oleh buku-buku yang banyak. Buku-buku itu menjadi dinding.

Dia duduk bersila di atas bantal. Kami juga duduk bersila. Mengalirlah percakapan. Banyak hal yang dipikirkan oleh Habib. Dia teramat ramah dan ringan memberikan informasi. Mungkin dia percaya kepada kami bahwa kami dapat memahami posisinya.

Tak terlihat wajah tertekan padanya. Agaknya tekanan dalam beragam bentuk sudah menjadi makanan sehari-harinya.

Waktu itu, dia merencanakan agar diselenggarakan Musyawarah Indonesia yang mengikutserakan setiap pihak yang berkeinginan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih bermartabat dari pada sekarang ini. Visinya luar biasa.

Dia bilang, bagaimana pun golongan nasionalis perlu didengar dan diikut sertakan dalam Musyawarah Indonesia tersebut.

Sayang, hingga kini rencana itu tidak terwujud. Padahal acara tersebut dirancang sebagai upuya untuk menemukan konsensus baru tentang Indonesia ke depan. Rencananya akan diadakan selepas Aksi Bela Islam 212.

Bahkan Aksi Bela Islam 212 itu sebenarnya direncanakan berupa aksi gelar sajadah sekaligus sholat jum’at di sepanjang jalan Sudirman – Thamrin. Tapi pemerintah tidak mengizinkan. Bahkan Habib dilarang menjadi Imam dan Khatib dari acara sholat Jum’at bersejarah tersebut.

Di luar rencana manusia, Aksi 212 yang sudah mengganti peranan Habib dengan Kyai Ma’ruf Amin, tahu-tahu di hari H, Kyai Ma’ruf pun berhalangan hadir.

Akhirnya, Habib juga yang tampil menjadi khatib. (Bersambung)

 

~ Putera Aly

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *