Ahok dan Hilangnya Nalar Kritis

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Diduga kuat banyak bermasalah dengan kasus hukum saat menjabat di kampung halamannya tapi tetap kau dukung.
Diduga kuat korupsi dalam kasus Rumah Sakit Sumber Waras , tapi tetap kau bela.
Diduga kuat menyalahgunakan kekuasaannya dalam kasus BMW, reklamasi, tapi tetap kau puja.
Diduga kuat terima uang dalam kasus e-KTP tapi tetap kau dewakan.
Tak ku sangka, Ahok telah membuat kau kehilangan nalar kritis.

Media cetak tentu tahu siapa Ahok.
Media televisi tentu paham betul siapa Ahok.
Media elektronik lainnya tentu kenal siapa Ahok.
Namun kau semua kebanyakan tetap mencitrakan Ahok sebagai manusia sempurna, bak Rasul yang maksum tanpa dosa.
Tak ku sangka, seorang Ahok telah membuat kebanyakan media kehilangan nalar kritis.

Ada lembaga survei yang jujur tanpa rekayasa melakukan survei Pilkada Jakarta dan mempublikasikannya.
Ada lembaga survei Ahoker yang jujur melakukan survei Pilkada Jakarta, namun ketika Ahok tumbang dalam hasil surveinya tak mempunyai keberanian mempublikasikannya dan memilih menyimpan hasil surveinya di laci survei.
Ada lembaga survei Ahoker yang lacur dengan melakukan survei tak jujur dan penuh rekayasa untuk menangkan Ahok secara tak bermartabat dan mempublikasikannya.
Tak ku sangka, seorang Ahok telah membuat tidak sedikit lembaga yang kehilangan nalar kritis.

Ketika persidangan di pengadilan masih berlangsung kau teriak lantang, serahkan kasus Ahok pada pengadilan karena kau yakin pengadilan akan menangkan Ahok.
Ketika vonis belum dijatuhkan majelis hakim kau juga teriak lantang, apapun putusan majelis hakim harus diterima, karena kau yakin semua hakim bisa “dibeli” seperti dugaan kau “membeli(?)” jaksa penuntut umum.
Namun ketika majelis hakim memvonis Ahok bersalah dengan hukuman hanya dua tahun kau berbuat anarkhis dan ngamuk-ngamuk bak orang kesurupan.
Tak ku sangka, seorang Ahok telah membuat kau kehilangan nalar kritis.

Kau sebut Aksi 411 yang diikuti beragam elemen bangsa membahayakan kebhinnekaan di Indonesia.
Kau sebut Aksi 212 yang diikuti jutaan anak bangsa menumbuhsuburkan ditoleransi di Indonesia.
Kau sebut aksi-aksi umat Islam lainya membahayakan demokrasi di Indonesia.
Namun sekali kau unjuk demo kau lumat dan kau praktekkan tuduhan-tuduhan yang kau sematkan pada aksi-aksi umat Islam.
Kau anarkhis, kau membahayakan kebhinnekaan, kau bersikap intoleran, kau membahayakan demokrasi.
Kau cermin yang sesungguhnya dari kelompok yang anti-NKRI, anti-Pancasila, intoleran dan tak berbudaya.
Tak ku sangka, seorang Ahok telah membuat kau kehilangan nalar kritis.

Menjadikan Gus Dur sebagai simbol pejuang demokrasi dan toleransi sangat pantas sekali, karena selama hidupnya dicurahkan untuk kerja-kerja kebhinnekaan dan tak lelah mengkampanyekan toleransi.
Menjadikan Romo Mangunwidjaja sebagai simbol kebhinnekaan dan welas asih tentu pantas sekali karena selama hidupnya dicurahkan untuk memupuk kebhinnekaan dan membumikan welas asih.
Menjadikan Buya Syafii sebagai tokoh pluralisme masih wajar karena hidupnya lebih banyak dicurahkan untuk kerja-kerja kemajemukan.
Menjadikan Ibu Gedong Bagus Oka juga sangat wajar karena selama hidupnya tak lelah melakukan kerja-kerja kemanusiaan tanpa membedakan asal usul agama, ras, warna kulit, dsb.
Menjadikan Jaya Suprana sebagai simbol toleransi juga masih wajar, karena bos Jamu Jago ini cukup lama melakukan kerja-kerja yang bersentuhan dengan masalah kebhinnekaan.
Namun pantaskah menjadikan Ahok sebagai simbol kebhinnekaan, simbol toleransi, simbol perlawanan pada gerakan anti radikalisme?
Tentu jawabnya tak pantas. Karena dalam hidupnya tak pernah didengar ada tradisi yang Ahok yang mengabdi pada kerja-kerja kebhinnekaan, demokrasi, toleransi. Yang terdengar justru kerja-kerja yang sebaliknya, yang anti-kebhinnekaan, anti-demokrasi, intoleransi.
Maka aneh ketika Ahoker menyematkan kepada Ahok sebagai simbol kebhinnekaan, simbol toleransi, simbol anti-radikalisme.
Tak ku sangka seorang Ahok telah menjadikan kau kehilangan nalar kritis. [mc]

*Ma’mun Murod Al-Barbasy, Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *