Biarkan Jaksa Agung Banding, Supaya Kita Tahu Sejauhmana Mereka Memanipulasi Hukum

Nusantarakini.com, Jakarta –

Jaksa Agung (Jakgung) menyatakan JPU akan naik banding karena vonis Ahok melampaui tuntutan hakim.

Ya itu, JPU menuntut Ahok bebas alias hukuman percobaan, sedang majelis memakai ultra petita: vonis melampaui tuntutan JPU. Yakni 2 tahun penjara berikut perintah penahanan.

Tampaknya yang dimaksud “perintah penahanan” adalah vonis “langsung masuk”. Majelis tidak menggunakan kalimat “langsung masuk”, tapi eksekusinya adalah penahanan langsung masuk (ke penjara).

Jadi majelis hakim sudah cukup halus menggunakan kalimat. Dalam beberapa kasus, amar perintah penahanan tidak dieksekusi JPU sehingga ada beritanya di koran tentang vonis, tapi orangnya sedang menjadi nara sumber seminar bersama saya.

Jadi sebenarnya Jakgung juga tak sungguh-sungguh berani menabrak hukum. Sebab, jika Jakgung benar membela Ahok, putusan majelis hakim kepada Ahok bisa ditunda eksekusinya oleh Jakgung. Jadi, Ahok masuk penjara akibat eksekusi JPU, bukan karena perintah penahanan dari majelis karena perintah penahanan tidak menyebut “langsung masuk”.

Artinya kapan penahanan akan dilakukan, terserah kepada eksekutornya, yaitu Kejaksaan Agung. Pada bahasa UU, perintah penahanan senantiasa memakai kata “langsung masuk” untuk kesalahan pidana tertentu.

Misalnya pada UU Advokat, pelaku yang memerankan seolah-olah advokat, padahal ia bukan advokat, diancam hukuman penjara langsung masuk. Pasal ini telah mengalami judicial review untuk pengacara yang berasal dari fakultas hukum perguruan tinggi yang memperoleh izin advokatnya dari fakultas hukum dalam rangka bantuan hukum pengabdian masyarakat perguruan tinggi.

Menurut saya, kesalahan JPU dalam mengeksekusi perintah majelis yang menyebabkan Jakgung akan naik banding karena tidak terima dengan putusan ultra petita.

Presumption of Guilty

Tentu saja paradok. Sebab fungsi JPU adalah presumption of guilty (praduga bersalah). Penuntut umum atau JPU tidak memiliki fungsi presumption of innocent (praduga tak bersalah) yang merupakan milik pengacara.

Jakgung memiliki fungsi lainnya, yaitu pengacara negara. Jadi, jika yang diinginkan Jakgung law action untuk menyelamatkan Ahok, yang mesti dilakukannya adalah fungsi selaku pengacara negara. Karena Ahok sudah dicopot oleh Mendagri dari jabatan Gubernur DKI Jakarta, fungsi Jakgung selaku pengacara negara juga berhenti.

Jika menggunakan banding untuk melawan putusan majelis, namun perlawanan agar terpidana bebas, tak bisa. Itu akal-akalan alias tricky. Bukan hukum. Sekonyong-konyong JPU bertranformasi menjadi pengacara negara. Rusak semua hukum dengan cara itu.

Proses hukumnya majelis sudah on the right track. JPU mengajukan dua pasal: (i) Pasal 156 a huruf a KUHP tentang penistaan agama, ancaman hukuman 5 tahun sebagai primer, dan (ii) Pasal 156 KUHP tentang penistaan golongan agama, ancaman hukum 4 tahun penjara sebagai subsider. Itu di surat dakwaan JPU.

Dakwaan primer itu yang harus dibuktikan selaku pidana pokoknya. Bukan sekundernya. Jika dibalik, JPU nya  korup.

Pada gelar perkara di Mabes Polri, diajukan dua pasal. Yaitu Pasal 156 a KUHP (ujaran kebencian dalam tanda kutip versi KUHP, delik formil) dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE (ujaran kebencian, delik aduan).

Oleh JPU, Pasal 28 ITE itu dihilangkan, diubah menjadi Pasal 156. Padahal, Pasal 28 UU ITE itu sebagai pasal berlapis “ujaran kebencian” hanya berbeda delik dan bukunya. Pasti sukar Ahok lolos dari pasal berlapis seperti itu. Jadi sejak awal JPU sudah curang.

Di tangan JPU ditukangi dengan cara menghilangkan pasal berlapisnya, Pasal 28 UU ITE diganti pasal exit door, yaitu Pasal 156 KUHP, pintu darurat penyelamatan Ahok. Hanya itu cara satu-satunya. Canggih Ali Mukartomo. Besok-besok saya mau pakai dia untuk selamatkan klien.

Cuma Budi Dwiarso terlalu jeli untuk ditipu. Ia tak mau menari di gendangnya JPU yang disetir Jakgung selaku pendukung Ahok.

Hasilnya dari 5 hakim, 2 hakim disenting opinion. Akibatnya, 2 hakim disenting tak beroleh promosi jabatan dari Mahkamah Agung. Bravo MA.

Presumption of guilty adalah subtansi attorney. JPU tak boleh memiliki presumption of innocent. JPU hanya berurusan dengan kesalahan pidana, dan ia harus menghukum kesalahan pidana. Dalam faktanya, requisitor JPU terasa seperti pledoi.

Kacau semua hukum pidana jika JPU yang menjadi presumption of innocent. Habis pekerjaan pengacara.

Maunya JPU majelis mengikuti tuntutannya, primernya tak terbukti, sekundernya yang terbukti. Di persidangan yang disiarkan televisi, primernya terbukti. Apa beda primer dan subsider?

Ilustrasi: seorang melakukan pencurian. Untuk masuk rumah, ia (i) merusak pintu. Sampai ke dalam rumah, kepergok tuan rumah yang lalu (ii) dibunuhnya. Ia kemudian melarikan diri dengan cara (iii) mengambil mobil korban. Ada tiga perbuatan pidana di situ. Merusak pintun, ancaman hukumannya tipiring. Membunuh, ancaman hukumanmya 15 tahun hingga seumur hidup. Mencuri mobil, ancaman hukumannya 5 tahun. Penyidik lalu memasang ancaman hukuman tertinggi di tuntutan primer, pasal tunggal, tak boleh lebih, yaitu pembunuhan.

Sedangkan pencurian dipasang Penyidik di tuntutan sekunder, karena ancaman hukumannya lebih rendah. Boleh lebih dari satu pasal.

Maksudnya, hukumannya untuk ditambahkan ke hukuman primer. Akumulasi. Maka penyidik mencantumkan perusakan pintu dan pencurian di sekunder.

Sekunder disebut kejahatan ikutan. Jadi, JPUnya Ahok menuntut Ahok dengan sekundernya. Yo salah berat Mister Ali. Sampean nyungsep.

Menarik kalau JPU nanti banding. Ingin tahu sampai di mana hukum bisa dimanipulasi.

Kalau hukumnya jungkir, niscaya Bani Islam demo lagi. Sampai hukum benar-benar tegak. Jargonnya: fiat justicia ruat colleom (sekalipun langit runtuh, keadilan harus ditegakkan).

Blasphemy memang unik dalam hukum Indonesia. Pasal-pasal penistaan agama ditaruh dalam Bab Tibum (Ketertiban Umum). Dengan demikian, perancang KUHP yang diturun dari Wetboek Van Strafrechts (KUHP Belanda) menyadari blasphemi senantiasa beresiko rusaknya ketertiban umum.

Di situ konteks demo Bani Islam itu. Demo bukan lagi semata urusan unjuk rasa, melainkan gangguan ketertiban umum. Zaman masih ada UU Subversif, semasa Soeharto, di mana demo adalah tindakan ilegal, ketika menyangkut blasphemi, demonstrasi tetap terjadi tak peduli di moncong senjata. Apalagi kini tak ada moncong senjata, yang ada moncong kar-makarnya Jenderal Tito, kata orang Madura. Demo itu adalah gangguan tibum, merupakan bukti materil perbuatan blasphemy.

Yang unik lagi, penasihat hukum Ahok mengajukan penangguhan penahanan atas vonis hakim dan penjaminnya Djarot selaku Plt Gubernur DKI Jakarta, lengkap dengan kop surat Pemprov DKI. Djarot Djarot.

Menurut Prof Romly Atmasasmita tak bisa. Tapi menurut Prof Yusril Ihza Mahendra bisa. Menurut saya tak bisa. Vonis kesalahan pidana mau ditangguhkan setelah dieksekusi?

 

~ Djoko Edhi Abdurahman, Mantan Anggota DPR RI

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *