Djoko Edhi: DPR Boleh Intervensi Kasus Hukum

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Polemik terjadi di Senayan ketika bergulir wacana pembentukan Pansus Hak Angket Kasus Makar. Di satu pihak berpendapat, sebagaimana pendapat umum, kasus hukum tidak dapat diintervensi oleh siapapun ketika sudah ditangani oleh Penyidik. Di lain pihak berpendapat, Pansus boleh saja dibentuk untuk menyelidiki kasus hukum apabila diperlukan sebagai pengawasan legislatif, yaitu pelaksanaan UU.

Setelah polemik tadi, menyusul peristiwa hukum lagi. Sejumlah tokoh masyarakat yang telah ditetapkan sebagai tersangka makar oleh Kepolisian mengadu ke DPR, diantaranya Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, Dhani Achmad, Hatta Taliwang, dll. Mereka diterima Komisi III dan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon yang membidangi tupoksi hukum dan politik.

Hal ini seperti yang disampaikan oleh Mantan Anggota Komisi Hukum DPR RI Djoko Edhi Abdurrahman kepada Nusantarakini.com.

“Saya lihat di tv, Fadli Zon menyampaikan aspirasi aktivis tersangka makar. Dan dia menyarankan, jika tak ada bukti kuat, di SP3 saja,” ujar Djoko kepada Nusantarakini.com di Jakarta, Sabtu malam (29/4/2017).

“Muncul pertanyaan, apakah DPR hanya berfungsi sebatas parle (bicara)? Apakah fungsi pengawasan DPR berhenti oleh hukum acara, dalam hal ini KUHAP. Dua hari kemudian, kepolisian menjawab di pers bahwa kasus hukum tadi tak boleh diintervensi oleh siapapun. Maksudnya tak boleh ada extra judicial,” sambungnya

Djoko menuturkan bahwa untuk fungsi DPR, larangan extra judicial itu tak berlaku. Tergantung caranya. Jika dipandang penting suatu masalah harus diintervensi, boleh dan bisa, baik dalam lingkup hukum acara maupun materi perkara karena ada undang-undangnya. Yaitu, UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket DPR. UU ini lex specialis. Artinya ia berada di atas KUHAP dan KUHP.

“Dalilnya lex specialis derogat legi generali adalah azas penafsiran hukum yang menyatakan hukum bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum bersifat umum (lex generalis). Kasihan juga DPR, diserang pakai postulat extra judicial lantas terdiam seribu basa. Padahal ia punya instrumen luar biasa kuat,” terang Djoko.

Lebih lanjut Djoko menerangkan bahwa Hak Angket tercantum dalam UU MD3, dulu namanya UU Susduk. UU ini memuat hak dan kewajiban anggota DPR, DPRD, dan DPD. Dua dari sejumlah hak anggota tersebut lintas fraksi. Yaitu, Hak Interpelasi dan Hak Angket. Syarat mengusulkan Hak Angket (penyelidikan), minimal diusulkan oleh 13 anggota. Pengusul itu tak harus dari satu komisi, tapi lintas fraksi. Setelah ditandatangani oleh 13 pengusul, disampaikan dan dideklarasikan bersama Wakil Ketua DPR tupoksi hukum dan politik. Hak Angket yang dimuat oleh MD3 hanya berfungsi pengantar, pintu masuk. Eksekusi lanjut menggunakan UU Hak Angket DPR Nomor 6 tahun 1954 tadi.

“UU ini, memberikan kekuasaan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman kepada Pansus Hak Angket. Dengan demikian, UU ini adalah lex specialis. Hingga kini UU ini belum pernah diamandemen sejak diterbitkan,” bebernya.

Djoko memberikan contoh bahwa UU lex specialis adalah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. UU ini, kata dia, memuat sekaligus hukum acaranya. Karena lex specialis UU KPK lebih tinggi kekuasaannya daripada KUHAP dan KUHP generalinya, sehingga memunculkan sejumlah norma yang berbeda dengan generalinya.

“Misalnya KPK tak memiliki SP3 yang dalam KUHAP dan KUHP merupakan hak tersangka. Pada UU Hak Angket DPR tak ada hukum acaranya, dan wajib dibuatkan oleh Pansus Hak Angket. Bagaimana bentuk dan dilaksanakan kekuasaan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, tergantung kehebatan hukum acara yang dibuat Pansus Hak Angket,” terangnya.

Dia juga menjelaskan bagaimana posisinya terhadap UU Nomor 2 tentang Kepolisian, UU Nomor 16 tentang Kejaksaan, dan UU Nomor 5 tentang Kekuasaan Kehakiman? Menurutnya, tetap lex specialis, sedang ketiga UU tadi generalinya. Jika tidak, menjadi nebis in idem dengan resiko batal seluruhnya karena nebis adalah azas hukum. Untuk memenuhi legalitasnya, hendaknya Hak Angket didaftarkan dalam Lembaran Berita Negara.

Pansus Hak Angket, sambung Djoko, membutuhkan perancang yang piawai Hukum Acara UU Nomor 6 Tahun 1954 agar mampu memaksimalkan kekuasaan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Jadi Pansus membetuk penyidik, penuntut, dan pengadilan adhoc.

“Saya berpendapat, UU Nomor 6 Tahun 1954 itu mampu mem-bypass sejumlah UU. Antara lain, jika arahnya ke impeachment, anggota Pansus memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan langsung ke Mahkamah Konstitusi, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri tanpa harus memenuhi UU Tatib sekalipun tak diatur dalam hukum acaranya. Jika arahnya ke pidana dan perbuatan melawan hukum, Pansus langsung mengeksekusi,” tegas Djoko.

“Kesimpulannya, DPR boleh dan bisa mengintervensi hukum tanpa extra judicial sepanjang dalam jurisdiksi lex specialis UU Nomor 6 Tahun 1954. Saya kira Benny Kabur Harman dan Trimedya Panjaitan sangat paham UU ini, sebab sempat kami bahas karena saya dan Benny berbeda pendapat ketika saya mengajukan Hak Angket Skandal Korupsi Bank Mandiri yang Rp 20,1 triliun karena Kejaksaan Agung mulai menyidik perkara yang mengantar ECW Neloe ke penjara,” sambungnya menerangkan.

Djoko juga menganjurkan, agar DPR lebih rajin menggunakan UU itu untuk menunaikan tugas “menampung dan menindaklanjuti laporan masyarakat”.

“Jangan cuma diajak bicara doang masyarakat, ditindaklanjuti! DPR menurut saya harus mulai membangun budaya hukum, jangan semua diselesaikan dengan lobi,” pintar Djoko.

“Jika Pansus Hak Angket meragukan penanganan makar oleh kepolisian, misalnya, diangket saja. Hak Angket juga mampu mengawasi kepolisian, kejaksaan, kehakiman. Kalau tak menggunakan UU Nomor 6 itu, ya mustahil untuk mengawasi kepolisian. Bagaimana mengawasi orang bersenjata? Beda dengan di Amerika, kepolisian negara bagian (polda), diawasi oleh FBI, polisi nasional,” tandasnya mengakhiri penjelasannya yang panjang lebar kepada Nusantarakini.com. (mc)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *