Internasional

Jaya Suprana: Fenomena Londonistan, Jumlah Mualaf Meningkat Tajam. Kenapa?

Nusantarakini.com, Jakarta – 

Tokoh humanis dari kalangan Tionghoa yang smengaku sebagai pembelajar peradaban, Jaya Suprana, mengatakan bahwa dirinya memang tahu ada nama Pakistan, Afghanistan, Turkistan, Kazhakstan, Kirgistan, Uzbekistan dan lain-lain nama berakhiran “stan”. Namun dia tidak tahu bahwa ternyata ada pula nama Londonistan.

“Ternyata Londonistan adalah julukan terbaru bagi sebuah kota yang bernama London,” ujar Jaya Suprana dalam keterangan rilisnya, Jakarta, Rabu (12/4/2017).

“Yang menciptakan julukan Londonistan adalah jurnalis terkemuka, Melanie Phillips, demi melukiskan betapa besar pengaruh Islam terhadap ibukota Inggris di masa kini,” tambahnya.

Jaya menceritakan, bahwa sejak 2001 sampai dengan 2016, di London telah didirikan 423 mesjid baru sementara sekitar 500 gereja telah ditutup. The Hyatt United Chuch dibeli oleh umat Islam dari Mesir dan diubah menjadi masjid.  Sama halnya dengan gereja Santo Peter dirubah menjadi masjid Madina. Masjid Brick Lane semula adalah sebuah gereja Methodist. Bukan hanya bangunan yang berubah sebab pada tahun 2016 jumlah kaum Mualaf di kota Londonistan meningkat dua kali lipat.

The Daily Mail sengaja secara khusus mempublikasikan serial foto fakta Londonistan antara lain dengan foto sebuah masjid dan sebuah gereja bertetangga di pusat kota Londonistan. Atau adegan di dalam gereja San Giorgio yang berkapasitas tampung 1.230 jemaat namun hanya hadir 12 orang pada upacara misa. Hanya 20 orang tampak hadir di dalam katedral Santa Maria,” ungkap bos Jamu Jago ini.

Menurut Jaya, masjid di kawasan Brune Street Etatate punya masalah beda akibat daya tampung hanya maksimal 100 orang maka setiap Jumat, umat terpaksa meluber ke jalanan. Walikota London masa kini adalah Muslim.

Lebih lanjut dia membeberkan, Ceri Peach dari Universitas Oxford menyatakan homogenitas umat beragama di Inggris masa kini memudar akibat dominasi Kristen memang melenyap. Direktur The National Secular Society, Keith Porteus Wood yakin bahwa di Inggris dalam 20 tahun mendatang jumlah Muslim akan lebih besar ketimbang jumlah Nasrani.

“Menurut riset NatCen Social Research Institute jumlah umat Anglican pada lingkup waktu 2012 sampai dengan 2014 mengalami kemerosotan menjadi sekitar 1,7 juta , sementara jumlah umat Islam di Inggris meningkat menjadi satu juta insan. Demografikal, umat beragama di Manchester 15,8 persen Muslim, Birmingham 15,8 persen bahkan Bradford 24,7 persen,” ujarnya mengungkapkan.

“Wajar apabila para penderita Islamophobia makin dilanda gelisah paranoid bahwa gelombang bencana Islamisasi sedang melanda Inggris. Namun bagi mereka yang mengerti kodrat proses peradaban, sama sekali tidak merasakan apalagi menganggap fenomena Londonistan sebagai suatu mimpi buruk di malam hari,” terang Jaya.

Gejala Londonistan, sambung Jaya, sekadar ekspresi perubahan peta demografik keagamaan di Inggris, di mana kebetulan agama Nasrani sedang mengalami masa pasca kematangan sementara Islam sedang mengalami masa pertumbuhan.

“Kemerosotan jumlah umat Kristen bukan akibat pertumbuhan  Islam. Ketika masih belajar kemudian mengajar di Jerman pada tahun 70an abad XX di mana umat Islam setempat masih dalam jumlah sangat terbatas, saya pribadi sudah menyaksikan bagaimana jumlah umat Kristen yang rajin ke gereja terus menerus merosot,” ungkap pentolan Rekor MURI ini.

Menurutnya, jumlah warga yang secara adminisratif ke luar dari agama Kristen makin banyak akibat keberatan membayar pajak gereja yang secara legal wajib dipotongkan langsung dari salaris bulanan. Terutama generasi muda Jerman pada masa itu sudah mulai menganggap  agama Kristen sudah tidak relevan akibat tidak sesuai dengan perkembangan zaman.

“Maka dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut sebagai Islamophobia sebenarnya hanya suatu penyakit jenis khayal yang sengaja direkayasa oleh mereka yang merasa kepentingannya terancam akibat tumbuhnya jumlah umat Islam,” katanya memberikan alasan.

“Sehingga meskipun pada kenyataan mayoritas pelaku kekerasan terorisme di bumi Amerika Serikat sebenarnya bukan Muslim, namun Donald Trump dan para pendukungnya sengaja membiasakan diri untuk menggunakan istilah teroris Islam radikal,” pungkas Jaya Suprana. [mc]

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top