Buni Yani: Ketidakadilan yang Telanjang di Depan Mata

Nusantarakini.com, Jakarta – 

KETIDAKADILAN YANG TELANJANG

Pendukung Ahok bekerja keras mencari kesalahan atas posting saya di Facebook terhadap video Gubernur Ahok mengenai Surat Al Maidah 51. Saya dituduh menghapus video (yang menunjukkan saya pengecut) ternyata tidak terbukti karena video tersebut masih ada di akun Facebook saya yang sudah disita polisi. Karena tidak terbukti lalu tuduhan beralih menjadi saya telah mengedit video yang juga tidak terbukti karena video yang saya upload persis sama dengan video panjang yang direkam di Pulau Seribu. Tak kehilangan akal, tuduhan lalu beralih menjadi saya telah memotong video panjang menjadi pendek yang juga tidak terbukti karena saya mendapatkan video tersebut apa adanya dari akun Facebook bernama Media NKRI. Semua informasi ini sudah saya ungkapkan dalam BAP kepada penyidik di Polda Metro Jaya.

Semua tuduhan tersebut omong kosong, mengada-ada, dan hanya mencari cara untuk menjatuhkan semua orang yang kritis terhadap gubernur junjungan mereka. Tetapi Buni Yani harus salah dan diproses polisi, bagaimana caranya?

Satu-satunya yang tersisa adalah hilangnya kata “pake” dalam caption video yang saya unggah. Mereka memelintir hilangnya kata “pake” ini seraya menuduh saya mempunyai niat jahat untuk menjatuhkan Ahok. Ini tuduhan yang sangat tidak adil. Mau ada kata “pake” atau tidak, itu tidak mengubah makna kalimat secara semantik: bahwa ada unsur yang kurang etis dalam kalimat itu, bahwa dugaan terjadinya penistaan terhadap agama bisa muncul dalam pikiran pembaca dengan adanya kata “dibohongin” dan “dibodohi”. Hal lainnya, secara akademis, penelitian fonetik (fonologi) menunjukkan kata “pake” suaranya paling rendah secara grafis fonetik dibanding kata-kata lain yang diucapkan Ahok. Ahli bahasa sudah bersaksi bahwa tidak ada unsur pidana dengan hilangnya kata tersebut. Lagi pula, dan ini yang paling penting, caption tersebut bukanlah transkrip, melainkan gabungan antara intisari, pendapat pribadi, dan kesimpulan pengupload video. Yang artinya, kata tertentu bisa hilang dan kata baru bisa muncul dalam caption.

Mereka sangat ingin mencari kesalahan saya atas unggahan video tersebut setelah menjadi viral. Tapi sesungguhnya yang bikin viral adalah timses Ahok bernama Guntur Romli yang men-screenshot unggahan saya lalu disebarkan dengan tuduhan saya telah memprovokasi massa. Sesungguhnya Guntur Romli-lah yang harus dibawa ke meja hijau karena lewat tangan dia video yang tadinya ditonton oleh sedikit orang, akan tetapi karena disebarkan olehnya dengan kata-kata yang provokatif, lalu inilah yang menyebabkannya ingin ditonton oleh banyak orang. Oleh Guntur Romli, logika dan fakta dibolak-balik: dia yang berbuat, saya yang dituduh. Inilah modus operandi buzzer Ahok dan tim komunikasinya untuk membungkam, menjatuhkan, dan melibas siapa saja yang berani kritis terhadap Ahok. Ini sebelumnya yang terjadi pada sejumah orang.

Tetapi setelah video menjadi viral, justru Guntur Romli menuduh saya menjadi penyebar provokasi. Apa yang dikatakan Guntur Romli cuma omong kosong belaka. Saya memposting video tersebut jam 00:28 dini hari Jumat, 7 Oktober 2016, ketika hampir semua orang sedang tidur. Siapa pula yang masih main Facebook jam sekian? Kalaupun ada, pasti jumlahnya sedikit. Lagi pula, ketika itu saya hanya punya teman sekitar 2600 dan follower sekitar 3000. Dengan jumlah pertemanan yang masih sedikit ini, dan diupload pada waktu dini hari, mustahil postingan saya mengenai video Ahok tersebut bisa menjadi viral. Ada yang like tapi cuma sedikit. Begitu juga yang komentar.

Kurang dari 24 jam setelah Guntur Romli menyebar screenshot dan tuduhannya kepada saya, saya dilaporkan ke polisi oleh tim hukum Ahok bernama Kotak Aja. Saya tak terima dilaporkan ke polisi dengan tuduhan telah menyebarkan kebencian atas dasar Pasal 28 Ayat 2 UU ITE dan karenanya saya menganggapnya sebagai pencemaran nama baik. Saya dosen, tak mungkin menyebarkan kebencian. Saya mengajarkan hal-hal baik kepada mahasiswa saya. Oleh karena itu, saya dan tim hukum melaporkan balik pelapor dari Kotak Aja bernama Muannas Alaidid dan penyebar screenshot yaitu Guntur Romli.

Namun apa lacur, justru yang diproses polisi cuma laporan Kotak Aja saja sehingga menjadikan saya menjadi tersangka dan sebentar lagi menjadi terdakwa. Sampai detik ini, laporan kami atas dugaan pencemaran nama baik oleh Muannas Alaidid dan Guntur Romli tidak diproses polisi dan tidak menjadikan kedua orang ini menjadi tersangka.

Kriminalisasi terhadap saya sangat bernuansa politis. Saya mencium aroma ketidakadilan yang telanjang di sini. Kezaliman harus dilawan!

*Buni Yani, sumber: Facebook (mrm)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *