Nasional

Matinya Denny Siregar Oleh Tulisan Ini

Nusantarakini.com, Jakarta –

Di era Jokowi ini, telah berkibar beberapa nama penggunjing dan penyinyir di dunia maya. Salah satu yang cukup dikenal, Denny Siregar.

Orang ini suka tiap hari mengeluarkan tulisan-tulisan banalnya. Hampir tidak ada faedahnya selain untuk mendaku-daku bahwa ia perlu merawat publisitasnya.

Kali ini Denny Siregar mati oleh tulisan baja di bawah ini. Silakan dibaca.

KAU YANG NAMANYA DENNY SIREGAR!

Oleh Arbi Sumandoyo

Kau buka tulisan “Cari Makan Atas Nama Rakyat” dengan mengaku-ngaku teringat lokalisasi Dolly, sebuah lokalisasi tertua di Surabaya. Kau juga mengaku ingat dengan lokalisasi Kalijodo. Lalu kau bicara dengan penuh sinisme pada LSM-LSM yang melakukan advokasi terhadap para lokalisasi itu untuk menembak LSM-LSM yang membela petani Kendeng.

Kau mau bikin pensejajaran antara lokalisasi dan pegunungan Kendeng Utara? Membandingkan konflik pabrik semen Rembang dengan konflik penggusuran lokalisasi, itu ngawur. Sama sekali tidak setara. Tidak ada pertaruhan soal sumber air yang mengaliri ribuan desa, tidak ada pertaruhan soal potensi rusaknya kualitas tanah dan udara dalam perkara lokalisasi.

Pernah kau ke Kendeng? Coba kau tanya pada kepala desa Timbrangan yang berada di sekitar pabrik Semen. Namanya Pak Nyono. Kau tanya dia, di mana letak goa Manggah. Kau tanya dia, di sana ada sumber air atau tidak.

Pernah kau Tegaldowo tak jauh dari lokasi pabrik? Untuk menuju ke sana, kau akan melewati Desa Pasucen, ada aliran air di sana. Airnya memang tak deras, namun aliran itu jelas ada, membelah jalan dan pohon-pohon jati. Setelah Pesucen, kau akan ketemu dengan Desa Timbrangan. Kau lihat sendiri seberapa mudah melihat sawah, aliran air yang menjadi irigasi bagi persawahan. Di perbatasan Desa Pasucen dan Tegaldowo, ada irigasi selebar satu meter membelah jalan. Airnya datang dari dari arah bukit yang rencananya akan ditambang PT Semen Indonesia.

Membandingkan Pegunungan Kendeng yang mengandung cekungan air dengan cekungan selangkangan di lokalisasi itu perbandingan yang menjijikkan. Otak kau ini jangan-jangan memang selangkangan doang.

Pertanyaan kau yang sok lugu soal mengapa para petani Kendeng malah ke Jakarta dan bukannya bekerja itu pertanyaan pura-pura tahu atau pura-pura goblok? Kau pikir petani tiap hari, dari jam ke jam, selalu di sawah?

Namanya petani, hidup tak melulu di sawah. Datang pada musim tanam, dan datang lagi pada musim panen dan sisanya mengecek tanaman dengan telaten atau menyemprot hama atau bahkan mencari rumput buat ternak. Dan kalau kau tahu, mereka para petani Kendeng bukan hanya bertani, tapi mereka juga berkebun. Dan yang patut kau ketahui juga, namanya petani menginjak sawah, bukan menginjak semen.

Kau juga tak tahu, keluarga petani terbiasa membagi tugas. Apa kau kira kalau ada petani yang bekerja maka sawah tak terurus? Kau pikir Yu Patmi, dkk., itu hidup seorang diri? Mereka hidup sebagai keluarga petani, masyarakat petani. Tahu berbagi tugas, peran dan beban.

Pertanyaan kau itu hanya memperlihatkan kau tidak tahu sama sekali soal kehidupan petani.

Kalau juga kau tahu, bentuk perlawanan dengan menyemen kaki adalah menggambarkan bagaimana mereka, petani pegunungan kendeng, takut kehilangan mata pencarian mereka. Mereka ke Jakarta, untuk menyemen, bukan buat kongkow-kongkow ngopi kopdar hahahehehihi. Mereka ke Jakarta untuk bekerja, BEKERJA DENGAN SEKERAS-KERASNYA untuk memastikan pekerjaan mereka sebagai petani tidak hilang, tidak hancur.

Perkataan kau bahwa petani Kendeng pendapatannya pas-pasan, lagi-lagi menjelaskan kau memang tidak tahu apa-apa tentang sedulur Kendeng. Kalau kau tahu, petani-petani Kendeng itu hidup pernuh berkah. Tidak kaya raya, tapi tidak menumpang, tak jadi benalu korporasi atau patron-patron politik yang sibuk tebar duit untuk urusan politik elektoral.

Para petani, di dua desa, yakni Timbrangan dan Tegaldowo, punya sawah 0,5 sampai 1 hektar, punya 2 sampai 3 sapi dan punya 1 atau 2 sepeda motor di setiap rumah.

Kalau kau tahu lagi, dari berkah hasil panen itu, mereka sama sekali tak sampai harus beli beras setiap hari atau menunggu dibagikannya beras miskin. Berkah itu juga melimpah hingga tersisa di gudang milik mereka di setiap rumah. Kalau kau datang ke rumah warga, kau akan lihat bagaimana padi-padi berisi butiran beras itu melimpah dan masih berbentuk gabah. Hebatnya lagi, sayur-sayuran di jual di pasar juga hasil dari pertanian warga. Kau bisa datang ke Pasar di Desa Tegaldowo. Kalau tak habis, kadang sisanya dibagi ke tetangga.

Kau tahu berapa gaji karyawan pembuat pabrik semen? Dari hasil wawancara saya, dengan pekerja pembangunan pabrik semen di Rembang (kontraktor pembangunan pabrik), sebulan dia hanya peroleh Rp 3 juta. Duit itu akan lebih kalau dia bekerja dengan jam lebih. Kalau mau lebih ia harus lembur.

Kau tahu tidak berapa Upah Minimum Kabupaten Rembang yang pada 21 November lalu suratnya ditandatangani Gubernur Ganjar? Hanya Rp 1.408.000. Upah itu juga hanya beda Rp 700 ribu dari Kota Semarang yang hanya Rp Rp 2.125.000. Dan kalau kau juga tahu, jumlah tenaga kerja yang akan diserap jika Pabrik itu beroperasi juga hanya 300 orang. Kalau kau tahu lagi, jumlah penduduk yang kiranya bisa bekerja sesuai dengan data pemilih pada 2014 di Kecamatan Gunem, tempat pabrik itu berdiri ada ribuan, yakni 14. 698. Data ini saya ambil dari kawalpemilu.org dari jumlah pemilih sah dan tidak sah yang ikut pemilihan pada saat kontestasi kursi presiden.

Data itu juga masih harus diseleksi lagi sesuai dengan kriteria kebutuhan calon karyawan pabrik. Tentunya dari 14 ribu orang yang tentunya masuk usia dewasa dan sudah memiliki KTP, namun tidak semuanya produktif masuk dalam bidang pekerjaan macam pegawai pabrik. Hal itu juga yang kemudian bung tidak bisa mengeneralisir, karena tidak sebanding dengan kebutuhan pekerja yang dibutuhkan pabrik semen. Dari 14 ribu hanya diambil 300 orang. Lalu kau mau bicara tentang para petani nantinya bekerja sebagai karyawan pabrik semen? Teleque gosong.

Bicara soal petani, kalau kau tahu, pekerjaan dan roda kehidupan di Rembang itu berasal dari persawahan. Kau baca itu data BPS.

Sebanyak 145.046 orang mengantungkan hidup dari pertanian, 18.247 orang bekerja di sektor industri, 18.273 orang bekerja di konstruksi, pertambangan dan galian, listrik, gas dan air bersih sebanyak 1.305 orang, bidang perdagangan sebanyak 60.531 orang, transportasi 8.868 orang, bidang jasa keuangan 3.361 orang dan jasa 55.162 orang. Dari sembilan jenis lapangan pekerjaan totalnya mencapai 310.793 orang dan paling besar mengandalkan pertanian.

Kalau kau mau tahu lagi, distribusi persentase Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut lapangan usaha dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012, secara umum didominasi oleh sektor pertanian dengan angka kontribusi 43,91 persen. Penyumbang terbesar kedua adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran yang semakin meningkat persentasenya yaitu sebesar 17,83 persen. Ketiga adalah sektor jasa dengan kontribusi 15,07 persen. Selain ketiga sektor itu, sektor lain masih di bawah 10 persen yakni, sektor Listrik, Gas dan Air Bersih hanya sekitar 0,46 persen dari total PDRB.

Kau juga gagal paham mengenai sepak terjang PT Semen Indonesia. Ini bukan soal perkara perusahaan itu ahli atau tidak, muara masalahnya adalah mengenai air yang menghidupi lahan pertanian. Kalau kau mau cari tahu, kau akan tahu itu yang namanya Cekungan Air Tanah Watu Putih. Cekungan itu yang kini membuat resah petani sekitar tambang termasuk juga aliran air dari cekungan itu yang menghidupi petani hingga lintas kabupaten, yakni Rembang, Blora, Pati maupun Grobogan.

CAT Watuputih adalah salah satu dari 19 cekungan air tanah di Jawa Tengah, yang menyimpan 109 mata air, beberapa terletak di lokasi pendirian dan penambangan pabrik semen (atau disebut ‘areal ring satu’), dan sebagian besar dimanfaatkan warga untuk lahan pertanian. Kalau kau tahu mengenai izin lingkungan, kau pasti tahu jika CAT Watu Putih juga merupakan kawasan lindung geologi, yang keberadaannya harus dilindungi karena merupakan daerah resapan air.

Soal resapan air ini, jangan kau bilang batuan kapur mampu meresap air, itu namanya asal bacot. Kau perlu baca soal karst, bagaimana batuan kapur itu bisa ditembus air. Bukan satu atau dua tahun prosesnya, bahkan seabad sebelum kau lahir, batu karst itu baru bisa menembus air.

Dan kau mau samakan urusan pegunungan Kendeng Utara dengan Dolly atau Kalijodo? Tolong otak jangan ditinggal terlalu jauh dari laptop.

Ketololan kau juga tampak saat bicara LSM. Yang kau bilang LSM, yaitu JMPPK alias Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng, adalah gabungan para petani pegunungan Kendeng di empat kabupaten yang hidupnya bersandar pada pegunungan Kendeng Utara. Kau bahkan tak tahu apa artinya jejaring, networking, dan asal pakai kategori LSM.

Kau mau bilang para petani itu naif, bodoh, dan tolol sampai tidak sanggup berkomunikasi satu sama lain, berjejaring satu sama lain, sampai tak sanggup bikin perlawanan? Kau ini penulis atau apa, sih, sampai sebegitu dungunya tidak tahu sejarah panjang perlawanan petani? Kau baca buku tak?

Kau mau bilang para petani tak boleh diadvokasi, ditemani dan dibela? Kau mau bilang biarin sajalah mereka jungkir balik sendirian baca AMDAL? Dan kau masih merasa sedang membela nasionalisme?

Kalau kau pikir setiap yang membela petani adalah “orang yang cari makan dengan mengatasnamakan rakyat”, memangnya orang-orang tidak bisa menilai para pembela pabrik semen, macam kau ini, adalah “antek yang cari makan dari korporasi” dan “antek yang menghisap duit dari petani”?

 

*) Naskah ini ditulis oleh Arbi Sumandoyo. Pada Desember 2016, pada hari-hari di sekitar Natal, selama kurang lebih sepekan, ia melakukan reportase panjang di Pegunungan Kendeng Utara. (sed)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top