Heboh Kunjungan Raja Salman

Nusantarakini.com, Jakarta-

Seingat saya baru kali ini ada kunjungan kenegaraan yang sangat heboh. Bahkan melebihi ketika presiden negara adidaya Amerika Serikat berkunjung, Barack Husain Obama waktu itu. Di mana-mana menjadi buah bibir, dibicarakan dan dinantikan dengan ragam persiapan. Bahkan konon kabarnya dari bandara, hingga ke parlemen dan istana negara dilakukan persiapan penyambutan yang besar dan meriah.

Apa alasan kehebohan ini? Salahkah atau memangkah harusnya demikian?

Tentu tidak salah, bahkan tatakrama menyambut tamu baik secara Islam maupun secara keindonesiaan seharusnya demikian. Ikraam ad-dhuyuf (memuliakan tamu) bahkan menjadi bagian dari keimanan. Dan juga menjadi bagian integral dari karakter kemanusiaan orang-orang Nusantara.

Tentu tidak salah pula bahwa yang akan datang ini adalah pemimpin negara yang di dalamnya ada kepentingan permanen umat Islam Indonesia. Yaitu rumah bagi Al-Ka’bah al-musyarrafah, kiblat umat Islam dunia, dan Al-Madinah al-Munawwarah, rumah kediaman abadi Rasulullah SAW.

Kedua tempat ini adalah kota suci pertama dan kedua bagi umat. Dan karenanya kedatangan raja Saudi sebagai Pelatan kedua Kota Suci itu memiliki ikatan psikologis yang khusus bagi umat Islam Indonesia.

Apalagi bahwa kunjungan ini bersejarah setelah sekian lama belum pernah ada pemimpin Saudi yang berkunjung ke Indonesia. Sebaliknya hampir semua pemimpin Indonesia sudah pernah berkunjung ke Saudi Arabia. Saling mengunjungi sejatinya memang simbolisasi dari “mutual respect” (saling menghargai).

Tentu dari semua itu yang terpenting adalah bahwa kunjungan ini adalah kunjungan seorang penguasa Muslim yang memiliki pengaruh di dunia Islam. Tentu pengaruh selain karena memang bertitel “khadimul haramaen” (pelayan dua kota suci). Juga karena Saudi memang kaya sebagai produsen minyak terbesar dunia.

Antisipasi sisi negatif

Di balik segala justifikasi alias keabsahan penyambutan yang super meriah itu, ada baiknya juga dilihat sisi kebalikannya. Bahwa berbagai kemungkinan sisi positif kunjungan itu, termasuk kemungkinan Saudi akan meminjamkan atau menanam saham dalam berbagai aspek perekonomian Indonesia, yang konon kabarnya bisa mencapai $25 milyar USD.

Akan tetapi semua itu seharusnya tidak menutup mata kita kepada kemungkinan sisi negatif dari penyambutan yang berlebihan. Saya justeru ingin melihat bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, selalu mengambil sikap imbang dalam segala hal. Termasuk ketika harus menghormati seorang tamu asing.

Lalu apa kemungkinan konsekuensi negatif yang ditimbulkan dari penyambutan yang berlebihan itu?

Pertama, Raja Salman adalah seorang raja dari sebuah negara yang secara sistim tidak menggambarkan semangat ajaran Islam dalam pengelolaan negara atau publik. Secara sederhana sistem kerajaan, kekuasaan keluarga, dengan keberpihakan kepada keluarga kerajaan yang sangat besar, menjadikan keadilan sosial tereliminir ke titik nadir yang mengecewakan. Harusnya Indonesia mendapat kehormatan di dunia Islma karena mampu mengawinkan antara Islam dan demokrasi. Sesuatu yang langka tentunya di bagian dunia Islam lainnya.

Kedua, saya tentu senang bahwa akidah Islam yang Ahlusunnah terjaga baik di Saudi Arabia. Tapi benarkah bahwa atas nama menjaga akidah Ahlusunnah lalu kelompok-kelompok yang tidak sejalan dieliminasi? Jelas hal ini bertentangan dengan “spirit” kepemimpinan Rasulullah yang mengayomi minoritas yang tidak sejalan dengan beliau. Saya tidak sama sekali membela Syiah. Tapi serangan Saudi ke Yaman itu sangat tidak proporsional dan banyak mengorbankan jiwa-jiwa yang tidak berdosa.

Ketiga, saya khawatir justeru penyambutan yang terlalu berlebihan, lebih dari pemimpin lai bahkan pemimpin Muslim lainnya, akan semakin membangun stigma bahwa Muslim Indonesia itu “inferior” kepada Muslim Arab. Saya tentu tidak mendukung mereka yang anti Arab. Sebab betapa banyaknya saudara-saudara Arab kita yang luar biasa dalam iman dan Islam. Yang saya ingatkan adalah jangan sampai ini menambah stigma negatif yang selama ini berkembang.

Keempat, jangan lupa bahwa perlakuan kepada para pekerja Indonesia, khususnya TKW, di Saudi masih jauh dari norma-norma hukum internasional. Saudi masih belum mau menandatangani konvensi internasional yang menyangkut “domestic workers” yang secara hukum internasional dijamin. Hal ini harusnya masuk dalam agenda pembahasan karena menyangkut kemanusiaan dan harakat bangsa.

Kelima, di sana sini saya lihat, dengar dan baca bahwa banyak yang “over joy” dengan kunjungan ini karena kekayaan Saudi Arabia. Sekali lagi kabarnya raja Salman dan rombongannya akan menanam saham besar di Indonesia. Bahkan akan mencapai $25 milyar USD. Kalaupun itu jadi, dan tanpa riba sekalipun, harusnya berhati-hati dengan konsekwensi psikologis. Kebesaran sebuah bangsa tidak hanya pada kemajuan ekonominya. Tapi yang terpenting adalah kemampuan membangun independensi dan kehormatannya.

Adapun anggapan bahwa dengan rencana investasi besar Saudi Arabia di Indonesia akan menghalangi atau minimal mengurangi pengaruh China di Indonesia, tentu bisa benar tapi juga bisa salah.

Pada akhirnya saya hanya ingin mengingatkan bahwa ketergantungan luar adalah penyakit kolektif bangsa yang kronis. Seolah bangsa ini terlalu kecil, kerdil dan tidak mampu berbuat apa-apa tanpa kekuatan luar. Dan bagi saya, ini adalah mental “terjajah” yang akan menjadikan bangsa ini terjajah di negara sendiri oleh bangsa-bangsa lainnya.

New York, 28 Februari 2017

*Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *