Prof. Deny: Diaktifkan Setelah Cuti, Terdakwa Ahok Harus Segera Diberhentikan

Nusantarakini.com, Jakarta-

Permisi, soal pemberhentian sementara Ahok ini, dalam pandangan saya, berkait erat dengan soal hukum tata negara, HAN dan, jangan lupa, pidana.

Pasal 83 ayat (1) UU Pemda sudah kita bahas berulang-ulang. Di dalamnya paling tidak timbul dua masalah:

Pertama, kapan pemberhentian sementara Ahok dilakukan. Kemendagri menunggu tuntutan. Saya tidak sependapat. Seharusnya cukup pada saat status Ahok menjadi terdakwa. Tentang masalah waktu ini, Pasal 83 ayat (2) sebenarnya sudah jelas dengan mengatur pemberhentian sementara dilakuakn dengan berdasarkan “register perkara di pengadilan”.

Masalah yang kedua, apa tindakan pidana dan perbuatan lain yang dapat menyebabkan seorang kepala daerah diberhentikan sementara.

Menurut pasal 183 ayat (1) jelas ada 6 (enam) yaitu:

1) tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun,

2) tindak pidana korupsi,

3) tindak pidana terorisme,

4) makar,

5) tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau

6) perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kita tidak memperdebatkan tindak pidana yang ke 4 (korupsi) hingga 5 (keamanan negara).

Perbedaan di sini ada pada apakah dakwaan Ahok masuk kriteria yang ke-1 dan/atau ke-6, yaitu tindak pidana penjara paling singkat 5 tahun dan/atau perbuatan lain yang memecah belah NKRI.

Untuk yang masalah lima tahun, karena ini sangat pidana, saya tanyakan ke Guru Besar Pidana, Prof. Eddy, dan dia berpandangan, dakwaan Ahok masuk klasifikasi ini. Kami berpandangan sama, kecuali misalnya Ahok dakwaan semuanya maksimal di bawah lima tahun, atau misalnya UU Pemda mengatur pemberhentian hanya untuk pidana 6 tahun ke atas, maka barulah Ahok tidak terkena ketentuan Paling Sedikit 5 tahun itu. Faktanya, dakwaan Ahok ada yang paling lama 5 tahun, sehingga masuk irisan di angka 5 tahun yang diatur UU Pemda.

Satu hal lagi, yang menarik dalam UU Pemda untuk kategori ke-6 tidak disebutkan sebagai “tindak pidana” tetapi “perbuatan lain” yang menurut saya membuka ruang interpretasi yang lebih lebar dari sekedar tindak pidana.

Pertanyaannya apakah dugaan penodaan agama yang didakwakan kepada Ahok adalah termasuk perbuatan yang dapat memecah belah NKRI? Saya merasa aneh, kalau dikatakan tidak. Afnan dan beberapa kawan tentu akan berpandangan, yang memecah belah bukan Ahok, tetapi yang memanipulasi pidato Al Maidahnya. Fakta hukumnya Ahok terdakwa. Jangan salah, saya pribadi tidak merasa Ahok menodai agama sebagaimana didakwakan. Tetapi, terlepas dari pendapat saya atas kasus itu, sisi tata negaranya tetap harus dijalankan.

Contoh Ucenk, bahwa meskipun kental kriminalisasi, para pimpinan KPK yang menjadi tersangka, tetap diberhentikan sementara adalah contoh yang cerdas.

Kesimpulannya, saya berpendapat, Ahok silakan diaktifkan lagi dari cutinya sebagai Gubernur, tetapi harus segera diberhentikan sementara karena sudah menjadi terdakwa–tanpa harus menunggu sidang tuntutan, dan karena memenuhi kriteria pemberhentian sementara Pasal 83 ayat (1) UU Pemda, khususnya kategori didakwa tindak pidana yang ancamannya bisa dihukum 5 tahun (baik paling sedikit ataupun paling lama), dan perbuatan lain yang memecah belah NKRI.

Ada yang bilang gubernur Jakarta di Plt-kan lagi. Keliru! (Masih boleh kan pake kata ini). Tidak perlu ada Plt, kan masih ada Wagub Djarot, yang bisa menjalankan tugas gubernur yang diberhentikan sementara.

Terakhir, saya ingin kembali tutup, soal ini sangat kental juga sisi pidananya. dari yang berdebat ini, Ucenk punya S1 skripsi pidana, saya dan Bang Refly S1 HTN dan terus menggeluti bidang itu sampai sekarang. Karena itu saya merasa penting bertanya ke Guru Besar Pidana Prof Eddy, yang screenshoot pendapatnya telah saya bagikan di grup ini dan jelas mengatakan Ahok harus diberhentikan sementara. Pendapat Prof Eddy itu saya share ke grup ini seizin ybs.

Demikian, semoga menjadi lebih clear pendapat dan argumen saya.

Terima Kasih. Salam hangat dari Melbourne.

*Prof. Deny Indrayana, Guru Besar Universitas Gadjah Mada. (mc)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *