Warkop-98

Rangkul Hegemoni China. Indonesia Posisikan ‘Ahok’ Sebagai ‘Friendship’? Ini Analisanya

Nusantarakini.com, Jakarta-

OBOR
by Zeng Wei Jian
September 2013, di Kazakhstan, Chinese President Xi Jinping mengintroduksi rencana “New Silk Road from China to Europe”. Kemudian, terma “One Belt, One Road” (OBOR) dikonstruksi. Jalur darat dan laut dipetakan.

Jalur darat disebut “Silk Road Economic Belt” (SREB), menerobos Central Asia, West Asia, Middle East, dan Eropa.

Sedangkan Jalur Laut meliputi South China Sea, South Pacific Ocean, Samudera India dan Arabian Sea. Disebut “21st Century Maritime Silk Road” (MSR).

Menurut Jae Ho Chung (Akademisi Korea), inisiatif OBOR mencakup 60 negara (2/3 populasi bumi), 55% GDP Global dan 75% global energy reserves, 900 proyek infrastruktur senilai $1.3 trillion yang berasal dari bank-bank China. Surat kabar South China Morning Post mendeskripsikan OBOR sebagai “the most significant and far-reaching project the nation has ever put forward”.

Anti China propagandis di Amerika menyatakan OBOR merupakan konsep Beijing menghegemoni dunia. Beijing menggunakan terma “Silk Road” sebagai simbol kebangkitan Dinasti Tang.

Para analis pro China berusaha menetralisir isu tersebut dengan menyatakan OBOR bukan Marshall Plan: it is not the result of occupation; it will not be a “tool of geopolitics”. Semua negara diajak berpartisipasi, termasuk USA, Jepang dan India.

Kesuksesan program “Silk Road” modern tergantung kerjasama ke 60 negara. Sehingga penting bagi Beijing agar tidak mengadopsi “great power diplomacy” dan sentralisasi eksesif.

Dalam rangka menganulir prejudis terhadap tendensi China centric, Xi Jiping merilis “3 No” policy.

1. No interference in the internal affairs of other nations.
2. Does not seek to increase the so called “sphere of influence”.
3. Does not strive for hegemony or dominance.

Policy ini seirama dengan seruan analis Yan Xuetong yang mengatakan China “needs to improve its image and expand friendly relationships through a ‘new diplomatic approach’ in the neighbourhood”.

So far, Beijing mampu mengeliminir resistensi dari negara-negara besar seperti Pakistan dan India.

OBOR selaras dengan proyek “connectivity” India seperti Ashgabat Agreement dan International North-South Transit Corridor (INSTC) yaitu usaha menciptakan multi-modal link (ship-rail-road) antara India, Iran dan Russia.

Format mutahir pasca berakhirnya Cold War adalah multi-polar Asia.

Saya kira, Xi Jinping memahami konteks ini. Selain menekankan akselerasi komunikasi, kebijakan, perdagangan dan sirkulasi moneter, Presiden Xi juga memfokuskan “enhance understanding” dengan negara-negara tetangga.

Langkah taktis yang menarik dari skema OBOR adalah pendekatan historis, budaya, tradisi dan demand dari negara-negara patner.

Dalam konteks Indonesia, Beijing perlu mengeliminasi “zero-sum thinking”, yaitu cara berpikir simplistik yang membagi “kita” dan “mereka” ke dalam kategori dikotomis rigid.

Format multi-polar Asia tampaknya juga disadari oleh penguasa rezim di Indonesia.

Munculnya China sebagai super power merupakan pasar besar. Dalam rangka mengambil manfaat atas kebangkitan ekonomi China, Indonesia mengubah kebijakan Anti China Policy. “Ahok” diposisikan sebagai simbol “friendship”.

Para penguasa Indonesia berharap Beijing mengubah persepsinya bila ada etnik Tionghoa jadi gubernur di Ibukota. Dengan demikian, investasi dan utang bisa digelontorkan. Namun, masalah timbul bila ternyata “si etnik Tionghoa” yang dipilih itu sama sekali tidak paralel dengan spirit Confusius yang menjadi inti dari budaya China.

Alih-alih bikin citra positif bagi China dan orang-orang satu etnik sebagai kelompok budaya tinggi dan bersahabat, Ahok malah triger tiga aksi besar umat Islam.

Nyata Ahok gagal berperan sebagai “harmonious bridge” antara Tionghoa dan pribumi. Selain gagal mensejahterakan warga DKI, Ahok menjadi kerikil bagi Beijing untuk memenangkan hati dan pikiran rakyat Indonesia. Ahok menggagalkan pendekatan budaya yang dilancarkan China.

Selain itu, Ahok bisa sangat berbahaya bagi komunitas Tionghoa di Indonesia bila Amerika meradikalisir sentimen Anti-Ahok menjadi gerakan “Anti Beijing” dan dimaterialisasi menjadi “Anti Tionghoa Indonesia”. Sejarah Indonesia modern beberapa kali menyaksikan pola adu-domba tersebut.

Usaha mempertahankan terduga penista agama, bermulut kasar, tukang caci-maki, gubernur tanpa prestasi seperti Ahok (yang juga terseret lima skandal korupsi) hanya karena dia minoritas adalah manuver berbahaya.

Ahok lebih buruk dari Foke dalam banyak kasus. Di tahun 2011, hanya ada 74 pengaduan warga dengan korban berjumlah 2.130 orang. Angka ini naik saat Ahok berkuasa di tahun 2015 menjadi 103 pengaduan dengan 20.784 korban.

Penerimaan retribusi daerah di zaman Foke sebesar Rp. 609.350.051.004 (tahun 2011). Angkanya turun di tahun 2015 menjadi Rp. 467.609.828.031.

Masih banyak pointer komparasi kelemahan Ahok. In short, dia gubernur tidak berpretasi. Ahok hanya bagus kata buzzer dan media abal-abal. (mc)

 

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top