Nasional

Di Balik Kisah Longmarch 212 Santri Ciamis Bela Islam – Seri 5

Nusantarakini.com, Jakarta –

Waktu menunjukkan pukul 18.30 WIB. Selepas berjamaah maghrib, semua peserta melepas lelah di masjid Perum Perhutani. Ada yang saling pijit, ada pula yang menikmati hidangan teh hangat dan jenis minuman hangat lainnya yang disediakan ibu-ibu dengan penuh hidmat dan antusias. Entah ibu-ibu dari mana. Namun dari sorot matanya, beliau ingin sekali berhidmat dan melayanai para peserta. Lagi lagi pemandangan yang sangat mengharukan.

Seiring waktu berjalan, di malam Kamis semakin banyak yang datang dari berbagai daerah sekitar Bandung yang ingin bergabung jalan kaki dengan kafilah ciamis. Luar biasa magnetnya sampai sahabat-sahabat dari HAMIDA, HAMIDU Bandung Raya tumplek di masjid dan aula Perum Perhutani. Selain menyambut kami, mereka juga siap berbaur dengan kafilah menuju Aksi Bela Islam Jilid 3.
Banyak pula kenalan para pejabat dan pengusaha datang menyalami kami mengucapkan salam dan merasa bangga dan apresiasi. Katanya gerakan ini telah memantik solidaritats Muslim Indonesia. Saya hanya terseyum sambil mengucapkan, aturnuhun kasadayana. Begitu banyak para dermawan yang berkontribusi baik berupa uang, makanan, minuman dan pakaian serta obat-obatan. Handphone tak henti-hentinya terus berdering. Ada dari saudara kita dari Purwakarta, Bekasi dan Cianjur. Semua pertanyaannya sama: Pak Kyai, sekarang posisi dimana? Kapan kira-kira sampai di tempat kami? Kami akan mengadakan penyambutan rombongan? Jawabannya sama, “Kami belum bisa jawab sekarang Pak, karena belum bisa diprediksi,” jawab saya di ujung telpon.

Ketika saya rebahan di masjid karena ngantuk dan pegal sekujur tubuh, tiba-tiba adik saya Zieguz Maliex memanggil, “Ang, wartawan tvone mau wawancara di aula.”

“Oohh iya, tunggu sebentar.” Kebetulan saya hanya pakai kaos oblong plus sarung karena baju hanya bawa dua stel dan semuanya basah. Saya agak kikuk, masa diwawancara pakai kaos oblong. Saya cari baju namun nggak ada. Seorang alumni asal Soreang, Mahfud Abdul Muhyi namanya, nyelonong mendekati saya, “Ang, pakai baju saya saja.”

“Ohh iya, baik terima kasih.” Kebetulan pas dengan ukuran badan. Bergegas saya menuju aula. Di situ awak media sudah banyak yang menunggu. Lima menit wawancara dengan tvone selesai, puluhan awak media cetak maupun elektronik bertanya, “Pak, kapan naik bisnya?”

“Nanti kita tunggu jam 20.00 WIB. Saya mau rapat dulu,” jawab saya sambil keluar ruangan menuju mesjid.

Baru nyampai di teras masjid, seorang peserta menyusul, “Kang, ada Kang Emil, Walikota Bandung dan Pak Umuh, Manager Persib mau ketemu. Beliau berdua sudah berada di aula.”

Karena badan sudah lelah dan ngantuk, saya nyuruh Korlap untuk menerima beliau. Maklum kedatangan selebriti suasana menjidi riuh. Kilatan lampu kamera datang dari berbagai arah mengambil posisi dan momen yang paling bagus.

Tepat jam 20.00 WIB, rabu malam yang dijanjikan handphone terus berbunyi. Kebanyakan dari media yang menanyakan jadwal keberangkatan naik bus ke Jakarta. Karena di pinggir jalan sudah ada 10 armada bis yang siap mengangkut peserta longmarch, saya agak bingung jawabnya, karena belum rapat. “Tunggu sebentar Bang, ya. Saya rapat dulu.” Selalu jawaban itu yang terlontar pada para penanya.

Saya jalan mengelilingi masjid mencari Kyai Maksum, Kyai Syarif dan Kyai Titing, karena berkali kali ditelepon hpnya tidak diangkat. Setelah ketemu, kita rapat, namun karena suasananya sangat ramai sekali, kita pindah mencari tempat yang aman untuk rapat. Rapat berjalan agak alot sampai satu jam. Namun akhirnya dicapai kesepakatan bahwa kita akan berangkat naik bus jam 08.00 WIB besok pagi dari Perum Perhutani dan untuk malam Kamis ini kita bermalam di Perhutani.

Rapat selesai, kita semua keluar ruang rapat menuju aula. Puluhan wartawan sudah menunggu hasil keputusannya. Kami berempat plus anggota DPRD Provinsi Jawa Barat yang menemui kami, naik ke podium utama yang penuh dengan aneka makanan dan minuman serta obat obatan kiriman para dermawan.

Saya mulai berbicara. “Assalamualaikum warohmatullohi wabarokaatuh!” Semua menjawab salam dengan serempak. Pekik istaidduu, labbaik, takbiiirr, Allohu akbar menjadi kata-kata komando yang hadir setiap saat.

“Para peserta longmarch dan wartawan, setelah kami bermusyawarah, maka kami memutuskan untuk bermalam di sini. Dan untuk jadwal keberangkatan besok pagi akan dirapatkan ulang besok.” Semua peserta takbir berulang-ulang dan selalu siap satu komando. Di akhir press release, saya mempersilahkan Kang Abdul Hadi Wijaya, anggota DPRD untuk memimpin lagu Indonesia Raya agar semangat nasionalisme peserta makin mantap.

Turun dari paodium, wartawan terus menyerang dengan rentetan pertanyaan, “Jadi bagaimana jadinya besok itu, lanjut jalan kaki atau naik bus?” Jawabannya, besok tergantung hasil rapat tim kecil, kata saya. Wartawan dibuat bingung karena tidak ada kepastian jawaban. Dan itu faktor kesengajaan agar para kuli tinta semakin penasaran dan lensa kamera tidak berpaling dari peserta longmacrh sehingga dengan itu masyarakat Indonesia terus disuguhi berita hotnews. Harapannya semua tergerak untuk bangkit dan berangkat serentak pada waktu tempat dan moment yang sama 212.

Saya kembali ke mesjid untuk istirahat. Sampai jam 24.00 WIB masih belum bisa tidur, padahal ngantuk sekali bawaannya. Namun karena banyak orang yang datang silih berganti sekedar bersilaturohmi atau menyerahkan amanah masyarakat, waktu istirahat jadi terlambat.

Tak terasa jam menunjukkan pukul 01.00 WIB, badan sudah hampir roboh. Akhirnya tengkurap di karpet masjid. Belum setengah jam tidur, ada yang manggil dengan suara agak pelan. “Aang, Ang.” Mata yang perih kepala pusing antara sadar dan tidak, saya bertanya, “Siapa? Saya Ang, Epung.”

Buru-buru saya bangun. Ada apa, Pung?” “Begini, Ang. Peserta banyak yang ngomong, kalau kita besok naik bus, maka media pasti akan menurunkan berita kurang baik. Sedangkan masyarakat ghiroh dan semangatnya lagi naik. Kalau kita berhenti jalan kaki, itu bisa meruntuhkan semuanya.”

Saya menoleh ke kiri. Ada seseorang yang ikut mendampingi Epung. Namnya Dr. Jamiludin Hidayat, Rektor STIA Ciamis yang turut serta ikut jalan kaki. “Gimana Kang, kira-kira, ya? Harus putus sekarang. Jam 06.00 WIB, kita umumkan,” Kang Jamil mulai bicara.

“Kaaang, hentakan pantulan sejarah tidak akan terjadi dua kali dalam hidup. Saya berharap kita lanjutkan jalan kaki sampai malam Jumat,” katanya.

Saya terdiam, bukan mikir, tapi ngantuk. Hehee. Okeh, besok kita lanjutkan jalan kaki. Semuanya salaman pakai salam komando.
Tak kuat lagi dengan kantuk kami semua tidur dengan pulas. (sed)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top