Hukum

Harli Muin: Pemerintah Aceh Tak Memiliki Alasan Kuat Menghapus KEL

Nusantarakini.com, Jakarta-

Sidang gugatan Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) terhadap Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh atas penghapusan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dari Tata Ruang Aceh telah memasuki tahap kesimpulan pada sidang yang digelar hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Masing-masing pihak penggugat, dan tergugat telah menyampaikan kesimpulan dari persidangan yang berlangsung hampir setahun.

Kuasa Hukum GeRAM, Harli Muin mengatakan, apa yang disampaikan para tergugat dalam kesimpulan-nya, sama sekali tidak dapat membuktikan bahwa penghapusan KEL, sebagai kawasan strategis nasional, memiliki alasan yang kuat secara hukum. Sebab, kata Harli, penyusunan Ruang dilakukan dengan cara berjenjang dari atas kebawa.

“Artinya, tata ruang provinsi wajib mengacu pada tata ruang nasional. Sementara di dalam Qanun Aceh No.19 tahun 2013 tentang RTRW Aceh, kawasan strategis KEL dihapus dari tata ruang Provinsi Aceh,” ujar Harli di Jakarta, Selasa (25/10/2016).

Selanjutnya, lanjut Harli, dalam pasal 150 ayat 2 UU No.11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi dilarang mengelaurkan izin. Penghapusan KEL, sebagai kawasan strategis nasional di Aceh memberi kebebasan Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten di Aceh dapat mengeluarkan izin.

“Penghapusan tanggung-jawab pemerintah ini bertetangan dengan UUPA, sejarah pembentukan KEL—yang bersumber dari usulan para Ule Balang dan Datok untuk melindungi KEL dari ancaman ekspansi perkebunan skala besar—pada zaman Pemerintahan Hindia Belada,” terangnya.

“Kini ancaman itu kembali terbuka, jika sebelumnya adalah Pemerintahan Kolonial, kali ini adalah pemerintahan sendiri. Padahal KEL, dimaksudkan untuk melindungi tata guna air di kawasan Leuser,” sambung Harli .

Selanjutnya, Harli menegaskan, mengenai Qanun Aceh No.19 tahun 2013 ini, proses pelibatan masyarakat pada awal pembuatan rancangan Qanun tidak menyentuh filosofis dasar pelibatan masyarakat. Menurutnya, memang benar masyarakat terlibat, akan tetapi pelibatan ini hanya melibatkan secara kuantitas, sementara kualitas berupa masukkan masyarakat tidak pernah di akomodasi.

“Usulan mengenai KEL misalnya, berkali-kali diusulkan masyarakat untuk dimasukkan dalam RTRW Aceh 2013-2033, tetapi DPRA dan Pemerintah Aceh tidak pernah mendengarkan,” beber Harli.

Harli memberikan contoh, bahwa TM. Zulfikar, anggota Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD), memang dilibatkan, hanya sekali—sesudah itu tidak pernah lagi diundang pemrakarsa qanun ini.

Menurut Harli, saksi fakta lain, Asnawi, Imeum Mukim Aceh Besar, saksi fakta dalam gugatan ini mengakui sama sekali tidak pernah dilibatkan. Padahal, kata Harli, pak Asnawi adalah Mukim—yang memiliki wewenang terhadap pengelolaan ruang di wilayah mukim.

“Menteri Dalam Negeri, sebagai lembaga yang diberi wewenang melakukan pengawasan terhadap pemerintah daerah tidak mencabut Qanun Aceh No.19 tahun 201 yang nyata-nyata bertetangan dengan pasal 15 Permendagri no.28 tahun 2008 tentang Tata Cara Evaluasi Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Daerah. Padahal jika tak dicabut, Qanun tersebut akan terus merugikan kepentingan umum atas penghapusan KEL, ” tegas Harli Muin

Harli menegaskan, Medagri juga mengabaikan surat evaluasi—yang dibuatnya sendiri—terhadap Qanun Aceh No.19 tahun 2013. Dalam hasil evaluasi itu, sambung Harli, disebutkan dalam Diktum ke-4, jika tidak mematuhi hasil evaluasi, Mendagri mencabut Qanun Aceh tersebut. Akan tetapi hingga disahkan, Mendagri tidak pernah melaksanakan kewenangannya.

“Kami berharap, para hakim mempertimbangkan jeritan penggugat dengan memberikan keputusan yang seadil-adilnya,” pungkasnya. (*mc)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top