Analisa

Rizal Ramli dan Pilkada DKI, Momentum Megawati dan PDI Perjuangan Menahan Bangkitnya Golkar

Nusantarakini.com, Jakarta-

Analisis Politik Pilkada DKI

Rizal Ramli dan Pilkada DKI, Momentum Megawati dan PDI Perjuangan Menahan Bangkitnya Golkar
Oleh : Osmar Tanjung*

Sebagai anak biologis Bung Soekarno, sudah lama Megawati mencita-citakan diwujudkannya idiologi Tri Sakti dan dilaksanakannya ajaran Marhaenisme. Sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, Mega dengan bangga dan sungguh-sungguh menempatkan ajaran Bung Karno dalam kehidupan sehari-hari dan dalam proses kaderisasi Partai PDI Perjuangan sebagaimana Jokowi menempatkan Tri Sakti dalam menjalankan program Nawacita.

Bung Karno menasehati Mega kecil, betapa sulitnya jadi pemimpin. Bung Karno dengan lembut dan kasih sayang memanggil “Gadis”, panggilan sayang seorang Bapak kepada anak gadisnya.  Soekarno sadar, hanya “Gadis” yang dapat menjadi penjaga “ruh” ajarannya dan memimpin Kaum Marhaen.

“Gadis, kamu tahu,” kata Bung Karno suatu hari kepada putri sulungnya itu.
“Kalau untuk jadi presiden itu gampang.”
“Oh, gitu ya pak?”
“Ingat ya, mudah sekali. Yang sulit itu jadi pemimpin,” demikian pesan Bung Karno.

Tahun 2017 Megawati akan beranjak 70 tahun, sudah saatnya memberi kepercayaan pelaksanaan Tri Sakti tidak hanya kepada Jokowi dan kader-kader partai PDI Perjuangan, melainkan juga kepada Rizal Ramli, loyalis Megawati. Gambaran tentang itu tercatat pada hari Rabu tanggal 9 September 2015. Pada saat itu, Mega meminta agar Rizal Ramli meneruskan konsep Trisakti yang pernah digagas Presiden pertama RI, Soekarno. “Ini perjuangan Bapak saya yang banyak belum dilaksanakan”, titah Mega kepada Rizal Ramli.

Saya mengakui bahwa sebagai negarawan, Mega sejak dulu selalu konsisten ingin memperjuangkan pemerintahan yang berdaulat, mewujudkan politik bebas aktif, mandiri secara ekonomi, dan mempertahankan kebudayaan lokal agar kita dapat menjadi bangsa yang berkepribadian yang “tak lekang karena panas dan tak lapuk karena hujan”.

Megawati harus mencatat Pilkada DKI Februari 2017 adalah kado ulang tahunnya ke 70 yang dapat menjadi tonggak sejarah dihidupkannya kembali ajaran Marhaenisme in the right time dan in the right place. Pilkada DKI 2017 adalah momentum PDI Perjuangan menguasai Jawa dan menahan bangkitnya Golkar, partai Orde Baru.  Penjelasannya begini.

Propinsi yang belum dalam penguasaan PDI Perjuangan ada 3 yakni DKI, Jabar dan Jatim. Menguasai 3 propinsi dimaksud, momentumnya dimulai dari DKI.

Mengusung Ahok, sama dengan membesarkan “anak harimau” yang didukung partai Golkar dan Metamorfosisnya : Nasdem dan Hanura. Selain itu, usung Ahok artinya membangkitkan fundamentalis dan memicu terjadinya konflik  sosial karena Partai Islam tidak tinggal diam. Jika ini terjadi, alangkah sedihnya founding fathers kita melihat anak-anak revolusinya menghancurkan fondasi-fondasi Tri Sakti, menghancurkan momentum bangkitnya Kaum Marhaen yang akan menikmati kemegahan-kemegahan Jakarta hingga disudut rumahnya.

Melepas Risma ke Jakarta adalah tindakan yang tidak bijak, apalagi Risma belum tentu menang di DKI. Itu sama dengan melepas “burung punai di tangan”. Partai Demokrat akan bertepuk tangan atas keputusan ini karena PDI Perjuangan gampang diprovokasi.

Pilihannya tinggal Djarot. Mengingat Djarot belum dikenal masyarakat Jakarta, maka pilihannya adalah menyandingkan Djarot sebagai pendamping loyalis Mega yakni Rizal Ramli. Memilih Rizal Ramli berarti membawa gerbong Partai Islam, akrifis Pro Demokrasi, Aktifis dan masyarakat miskin kota, kelompok etnik, seperti sunda, betawi, china dan Kaum Marhaen lainnya. PDI Perjuangan akan menang mudah, apalagi pendukung Jokowi juga tidak akan tinggal diam.

Dari DKI, PDI Perjuangan meneruskan pergerakannya ke Jabar dan Jatim. Untuk Jabar ada Ridwan Kamil dan Susi. Untuk Jatim, ada Risma. Tinggal dipikirkan Sumatera.

Sebenarnya ada cara yang lebih strategis lagi. Cara ini harus menarik Risma ke Jakarta dan meminta Djarot menjaga kota Jakarta sampai Pilkada DKI berakhir. Djarot berlatih memahami fenomena dan seluk beluk kota selama 5-6 bulan sebagai PLT Gubernur DKI, untuk kemudian ditugaskan kembali ke Jawa Timur. Tapi ini beresiko besar bagi PDI Perjuangan.

Secara pribadi, saya lebih memilih cara ini. Dengan demikian Risma menjadi pendamping Rizal Ramli yang banyak makan asam garam kota Jakarta.

Usung Rizal Ramli sebagai loyalis Mega yang mampu mengemban amanah yang dititipkan kepadanya. Saatnya Mega menunjukan kepada SBY, bahwa “saya, Gadis anak Soekarno” yang sudah jungkir balik mempertahankan harga diri dan ajaran Bapak saya yang diobok-obok Soeharto dan Orde Baru”, tidak dapat didikte siapapun.”

Hanya Rizal Ramli yang faham Tri Sakti dan Marhaenisme yang dapat membuat kemegahan di dalam rumah-rumah kecil daripada Marhaen di kota Jakarta. Rizal Ramli akan membuat Jakarta berkepribadian dan berbudaya. Rizal Ramli telah lama menjadi harapan banyak Kaum Marhaen yang ada di tempat-tempat kumuh, tempat yang digusur, sudut-sudut kampung dipenjuru Jakarta.

Terakhir, sebagai seorang simpatisan PDI Perjuangan, sebagai orang yang mencintai Soekarno dan ajarannya, sebagai orang yang ingin memuliakan Megawati, jangan sampai PDI Perjuangan membuat blunder dan membuat noda hitam dalam sejarah demokrasi dan keutuhan NKRI. Mengusung Ahok bak pepatah “takut kepeluk mayat, akhirnya kepeluk bangkai”.

* Osmar Tanjung anggota Study PWD, UGM untuk Study Broader Alliances

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top