Budaya

Ketika Sriwijaya Mengundang Islam

Nusantarakini.com, Jakarta – Sebagai natur tumbuhnya suatu kekuasaan, tentu tidak mungkin muncul secara tiba-tiba. Cikal-bakalnya bisa puluhan tahun sebelumnya. Demikian juga dengan cikal-bakal kemaharajaan Sriwijaya.

Jika berdasarkan prasasti Kedukan Bukit, ditemukan nama Maharaja Sriwijaya, Dapunta Hyang Srijayanasa bertahun 683 Masehi dan Prasasti Talang Tuwo tahun 684 Masehi. Jauh sebelum itu, tentulah kekuasaan Sriwijaya telah terbina. Pada prasasti Kedukan Bukit itu terkandung keterangan bahwa Raja Sriwijaya baru saja menaklukkan Minanga Tamwan dengan 20.000 prajurit marinir dan 1.312 infantri.

Secara berturut-turut dapat diuraikan di sini.

1. Dapunta Hyan Srijayanasa (terdapat dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 683 Masehi dan Prasasti Talang Tuwo tahun 684 Masehi.

2. Sri Indrawarman (terdapat dalam Berita Cina tahun 724 Masehi)

3. Rudrawikrama (terdapat dalam Berita Cina tahun 728 Masehi)

4. Wishnu (terdapat dalam Prasasti Ligor tahun 775 Masehi

5. Maharaja (terdapat dalam Berita Arab tahun 851 Masehi)

6. Balaputera Dewa (terdapat dalam Prasasti Nalanda tahun 860 Masehi)

7. Sri Udayadityawarman (terdapat dalam Berita Cina tahun 960 Masehi)

8. Sri Udayaditya (terdapat dalam Berita Cina tahun 962 Masehi)

9. Sri Sudamaniwarmadewa (terdapat dalam Prasasti Leiden tahun 1044 Masehi)

10. Marawijayatunggawarman (terdapat dalam Prasasti Leiden tahun 1044 Masehi)

11. Sri Sanggaramawijayatunggawarman (terdapat dalam Prasasti Chola tahun 1044 Masehi)

Namun sebenarnya, raja-raja Sriwijaya di atas tersebut baru yang tercatat. Adapun catatan tentang kerajaan ini tidak banyak. Parameswara, pendiri kerajaan Islam di Malaka dipastikan merupakan keturunan raja-raja Sriwijaya seperti halnya Raden Fatah pendiri Kerajaan Demak merupakan keturunan imperium Majapahit. Baik Sriwijaya maupun Majapahit, mendasarkan keunggulan kerajaannya di lautan.

Penguasaan Laut di Masa Lalu

Sebelum bangsa-bangsa Eropa mengontrol jalur laut nusantara dan mendesak kerajaan-kerajaan seperti Mataram mengalihkan perhatian ke pedalaman, lautan merupakan jalur transportasi umum dengan menggunakan perubahan angin musim dan ilmu perbintangan. Kapal-kapal produksi musantara yang khas, baik dari segi layar, kekuatan dindingnya, sistem dan manajemen operasinya, maupun kekhasan cadik dan dayung-dayungnya yang banyak, memungkinkan bagi mereka tidak gentar menghadapi gelombang dan badai.

Di gambarkan dalam naskah Bujangga Manik, kapal Jung Jawa biasa hilir mudik menuju India. Panjangnya 40-an meter lebih, dapat memuat beban 600 ton. Dari masing-masing sisi terdapat 25 orang tenaga pendayung.

Susunan awak kapal yang mengoperasikan kapal tersebut sebagaimana yang dia catat bahwa para pendayung adalah orang Marus (Baros di Sumatra Utara?), para pengayuh orang Angke (di Jakarta?), penanggung jawab layar orang Bangka, kepala kelasi orang Lampung, juru kemudi orang Jambi, juru panah orang Cina, juru sumpit orang Melayu, juru tarung orang Salembu (belum teridentifikasi), juru perang orang Makassar, juru sergap orang Pasai.

Dengan gambaran sistem seperti itu, dapat dibayangkan bahwa sebenarnya kapal itu multi fungsi: transportasi, kapal dagang, sekaligus kapal militer. Kapal jung jawa juga digambarkan sangat besar dan ketika Portugis menembakkan peluru meriam ke kapal tersebut, sama sekali tidak mengakibatkan kerusakan. Dinding kapal dilapisi empat lapis papan jati yang kuat.

Dengan gambaran selintas profil kapal-kapal nusantara tersebut dapat dimaklumi bila orang-orang Nusantara menguasai jalur lalu lintas laut nusantara.

Tatkala Raja Jayanasa maupun Indrawarman mengabarkan kemegahan kerajaannya ke Imperium Umayyah sekaligus mengundang hadirnya Islam di Nusantara, kesan superioritasnya dapat dimaklumi.

Memiliki armada besar, istana yang megah, kekayaan yang melimpah–digambarkan lebih kaya dari kerajaan di India–tentu Sriwijaya pantas melakukan hal itu. Namun yang mengesan lagi adalah Sriwijaya mengundang Islam ke kerajaannya. Apakah surat Nabi atau khalifah setelah Nabi telah sampai ke Sriwijaya, belum ditemukan buktinya.

Akan tetapi melihat pola dakwah Nabi setelah Perjanjian Hudaibiyah yang ekspansif, tentu bisa saja dimungkinkan seruan Islam telah hadir di wilayah Sriwijaya. Sebab, di Cina sendiri kabar Islam telah diketahui dengan apa yang mereka kenal agama murni. Sementara, Sriwijaya merupakan kerajaan yang dinamis dan ekspansif.

Ketika Sri Indrawarman meminta Umar bin Abdul Aziz, salah seorang penguasa Umayyah, untuk dapat mengajarkan hukum-hukum Islam, sekali lagi kesan sikap dinamis, terbuka dan percaya diri, tercermin dengan jelas.

Dengan demikian, dapat diduga, Islam telah dikenal dan disiarkan di Sriwijaya yang masanya sezaman dengan Nabi, Khulafaurrasyidin, Umayyah hingga Abbsiah. Wallahua’alam bisshshowab. (sed)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top