Budaya

Mengapa Indonesia Kehilangan Marwahnya?

Nusantarakini.com, Jakarta – Boleh dikata dewasa ini marwah Indonesia sudah begitu rendah di mata orang asing. Betapa tidak, kelompok kecil saja seperti Abu Sayyaf telah perlakukan Indonesia tak ubahnya sandera yang terus diperas. Sama sekali tidak ada lagi rasa segan terhadap negara dengan penduduk 250 juta jiwa ini.

Jauh sebelum itu, orang luar menjuluki Indonesia dengan sebutan merendahkan: Indon. Semua itu karena persepsi bahwa Indonesia hanya mampu mengirim babu dan kuli. Pemerintahnya dikesankan korup dan murahan. Semua beres jika ada uang sogok dan pelicin.

Narkoba dan barang selundupan masuk dengan deras ke Indonesia karena marwah Indonesia tidak ada dalam pandangan mereka. Para konglomerat berlaku sewenang-wenang melahap semua sumber-sumber vital ekonomi, karena marwah bangsa tidak ada. Singapura berbuat sesukanya terhadap ruang udara, karena sadar bahwa marwah negara ini tidak ada. RRC berbuat semaunya di perairan Indonesia baik lewat kapal-kapal ikannya maupun kapal perangnya di kitaran Natuna, karena tiadanya marwah negara ini.

Kenapa marwah Indonesia tidak ada di mata asing? Jangan bersedih, hal itu adalah kenyataan.

Ada tiga faktor hadirnya marwah suatu bangsa. Pertama kuatnya keyakinan atas kemampuan bangsanya untuk meraih apa pun yang dicita-citakannya. Sekarang ini, tidak perlu menyangkal bahwa bangsa ini dihinggapi rasa ragu atas kemampuannya. Bahkan yang tragis, cita-cita luhurnya secara kolektif hari ini boleh dikatakan tidak ada sama sekali.

Setiap orang bagaikan beradu untuk mengejar kepentingannya sendiri-sendiri dengan memperalat negara dam infrastruktur kekuasaannya.

Kedua, tingginya rasa kebersamaan dan rasa senasib sepenanggungan sebagai sebuah bangsa. Saat ini hal itu sudah lama luntur dan kalaupun kelihatan ada, hanya fatamorgana saja. Masing-masing sekarang melayani sendiri kepentingan sempitnya. Yang ada hari ini sebenarnya bukanlah suatu bangsa, tetapi golongan-golongan yang beragam kepentingan dan jurusan yang beraliansi dan berkolaborasi dalam suatu payung bernama Indonesia. Masing-masing ingin lebih dahulu untuk meraih kepentingannya. Dan hal itu hanya bisa dicapai dengan menguasai struktur kekuasaan Indonesia.

Ketiga, tiadanya panutan hidup dan acuan moral sebagai suatu personifikasi suatu bangsa yang bermarwah. Pemimpin yang ada boleh dikata tidak satu pun yang menerbitkan rasa segan di mata asing. Hal ini makin sulit ketika sistem pasar dan demokrasi nominal makin menjadi standar. Kualitas pemimpin yang muncul lebih banyak ditentukan oleh popularitas naif dan konyol. Di titik ini, semuanya bisa ditentukan oleh kekuatan uang. Akhirnya asing dapat menjengkal moral bangsa Indonesia dewasa ini yang dapat dengan mudah disulap oleh uang.

Jika Abu Sayyaf memeras Indonesia dengan tuntutan tebusan uang, maka janganlah marah dan malu. Sebab itulah cermin diri bangsa Indonesia hari ini. (sed)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top