Warkop-98

“INDONESIA FACTOR”, Catatan Pemikiran Mochtar Riady

Nusantarakini.com, Jakarta-

“INDONESIA FACTOR”, Catatan Pemikiran Mochtar Riady

by: Ken Ken

Rabu, 15 Juni 2016

Sebagaimana tabiat pebisnis ulung, Mochtar Riyadi datang on time di Auditorium Jaya Suprana School of Performing Art. Bagi saya, ini adalah diskusi penting. Bila ada tokoh yang saya anggap sebagai Indonesian Overseas Chinese’ tribal chieftain maka Mochtar Riyadi adalah orangnya.

Deretan kursi sudah diisi Prof. Emil Salim, Christianto Wibisono, Bapak Agus (Mantan Duta Besar Indonesia untuk Kroasia), HS Dillon dan Ibu Drupadi, I Sandyawan Sumardi dan Ibu Vera, Romo Simon Cahyadi (Rektor Universitas Driyarkara), Lieus Sungkarisma, Jenderal Saurip Khadi dan Ibu Justiani Liem, Daeng Mansur dari Masjid Luar Batang, Ibu Musda Mulia, Bpk Sulis (Sinarmas) dan sebagainya.

Host, Jaya Suprana, hari ini mengenakan batik Singkawang. Entah apakah ini disebabkan karena kehadiran Mantan Walikota Singkawang Hasan Karman (Bong Sau Fan) yang duduk di sebelah kiriku.

Acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan iringan musik kolintang.  Mochtar Riady memulai diskursusnya dengan selayang pandang kronikal evolusi teknologi dan world shift yang dimulai Amerika.

Pasca PD II, sekitar tahun 1947 Amerika mengembangkan mikro elektronik bercabang dua: analog dan digital. Derivasi teknologi digital adalah sistem komunikasi dan penemuan komputer.

Penemuan teknologi digital ini, bikin Amerika memasuki information society. Labour intensive dialihkan ke Jerman dan Jepang. Lima belas tahun kemudian Jepang memasuki information society. Labour intensive dialihkan ke Korsel, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Dua puluh tahun kemudian, ke-4 negara ini menjadi “macan asia”. Mereka juga masuk information society. Lalu labour intensive pindah ke Tiongkok dan Asia Tenggara. Negara-negara di kawasan ini, termasuk Indonesia, mulai masuk era information, loncat dari peradaban pertanian. Pusat ekonomi global pindah dari atlantik basin ke pasifik basin.

Stabilitas pasifik basin terganggu dengan kemunculan Tiongkok sebagai raksasa ekonomi baru menghadapi dominasi Amerika.

Kebetulan posisi geografis Indonesia menjadi pintu masuk dari Amerika ke Asia. Posisi itu menjadi bertambah strategis dengan melimpahnya sumber daya alam, penduduk berusia aktif dalam jumlah banyak dan iklim yang baik.

Sejumlah ahli ekonomi barat menyatakan bahwa Tiongkok sedang memasuki fase “middle income threat country” yaitu negara dengan rata-rata GDP 5-10 ribu dollar. Tenaga buruh jadi mahal. Ke bawah, Tiongkok jadi sulit bersaing dengan kantong tenaga seperti Vietnam, Indonesia. Ke atas Tiongkok menghadapi Amerika. Dengan kata lain, Tiongkok berada dalam posisi dilematis. Istilah Mochtar Riady, posisi gawat.

Mochtar tidak sependapat dengan analisis barat tersebut. Malahan dia menilai Tiongkok sudah masuk jajaran elit “international information society.” Di situ landasan Indonesia Factor menjadi krusial. Karena alur perpindahan labour intensive akan beralih ke Indonesia. Sehingga pemerintah perlu menyiapkan diri dengan pembangunan infrastruktur dan regulasi yang memungkinkan meminimalisir cost of production.

Dalam kesempatan terbatas ini, Mochtar memaparkan beberapa fakta yang menjadi alasan argumentasi bahwa Tiongkok telah menjadi anggota “information society.”

Ada empat variabel yang tak bisa dipisahkan dari teknologi digital: software, hardware, infrastruktur sistem telekomunikasi dan konten. Menurut Mochtar, konten dibagi ke dalam tiga hal berbeda yaitu data flow, money flow, merchandise flow.

Di Amerika, perusahaan IT adalah penguasa ekonomi. Intel memegang monopoli hak paten “microchip”. Silicon merupakan bahan dasar membuat chip. Menurut Mochtar, saat ini di dalam laboratorium Huawei, sudah dikembangkan bahan pengganti silicon yang memiliki kapasitas jauh di atas silicon based microchip. Dipastikan, sebentar lagi Huawei akan menggantikan posisi Intel dalam teknologi microchip. Pak Mochtar juga mengingatkan bahwa mayoritas hardware diproduksi di Tiongkok.

Bila bicara soal infrastruktur sistem telekomunikasi, maka Cisco adalah penguasa infrastruktur sistem komunikasi. Menurut Mochtar, 15 tahun lalu Cisco berusaha menggugat Huawei dengan tuduhan mencuri teknologi.

Namun beberapa tahun belakangan, justru Cisco berusaha merangkul Huawei sebagai parner. Beberapa hari yang lalu, Huawei menggugat Apple dan Samsung dengan delik mencuri teknologi mereka.

Belakangan, Microsoft tidak lagi menciptakan inovasi baru. Namun Tiongkok memiliki Baidu sebagai tandingan Google di samping ada Alibaba sebagai pesaing Amazon.

Sebelum menjadi presiden, Xin Jin Ping pernah menyatakan kepada Presiden Barrack Obama bahwa Tiongkok telah memiliki teknologi roket yang sanggup meluncurkan 20 satelit sekaligus.

Di samping telah menguasai high speed railway, Mochtar juga mencatat Tiongkok telah menjual nuclear power kepada Ingris. Di dunia ini, hanya ada dua negara yaitu Amerika dan Tiongkok yang memiliki kapal selam dengan kesanggupan menembus kedalaman 7 ribu meter di bawah permukaan laut tanpa mengalami gangguan komunikasi.

Semua fenomena ini, bagi Mochtar, merupakan variabel yang menempatkan Tiongkok sebagai negara anggota ‘club of technology’ dan bukan sebagai negara “middle income society threat”.

Perkembangan Tiongkok ini akan berdampak pada Indonesia.

Menurut Mochtar, Indonesia akan memainkan peran penting. Sejak 1 Januari 2016, dunia memasuki era baru AEC (Asian Economy Community). Selain itu, di bulan Januari juga Amerika menginisiasi TPP (Trans Pasific Patnership),  ditanda-tangani di New Zeland. Indonesia dan negara-negara ASEAN mesti mempertimbangkan untuk bergabung dengan TPP ini. Perubahan dinamika global dan regional ini, bagi Mochtar, merupakan sinyalemen dimulainya era “persaingan bebas.”

Perubahan dunia dari “dinamo motor” menjadi “economy chip” dengan frame “free competion” ini mesti direspon Indonesia.

Mochtar berpendapat bahwa Indonesia memiliki potensi besar menjadi “economic power house”.

Tanpa sadar, Indonesia memiliki enam kawasan industri ‘super padat’ di dua kabupaten yaitu Bekasi dan Kerawang. Kawasan industri seluas 200km persegi ini menghasilkan sejuta mobil dan 10 juta motor setahun. Inilah kawasan industri terpadat di seluruh Asia Tenggara.

Berangkat dari pengalaman Tiongkok, Mochtar merekomendasi sebuah “starting point” sebagai fokus awal.

Tiongkok tidak memulai pembangunan industri dari Shanghai, the old industrial city. Namun membuka enam zona khusus ekonomi di tahun 1980-an. Zhenzhen adalah kota pesisir pertama. Setelah itu baru kemudian Zhuhai, Shantou dan Xiamen dibuka. Dan bagi Pa Mochtar, kawasan Bekasi dan Karawang merupakan “starting point” yang cocok sebagai fokus awal. Di situ, pemerintah Jokowi mesti memusatkan diri.

Selain itu, pemerintahan Indonesia mesti benar-benar menyadari dominasi teknologi informasi.

Mochtar memberi contoh bagaimana perusahaan taxi konvensional Blue Bird yang menguasai arena selama puluhan tahun dipukul goyah hanya dalam waktu setahun oleh penggunaan teknologi digital Uber dan Grab Taxi.

Dengan sangat piawai, Mochtar menggambarkan kronologi evolusi penemuan terbesar umat manusia, yaitu “alat pembayaran”. Di sini, Mochtar memperlihatkan kalibernya sebagai “bagawan”.

Ia memulai dengan diambil-alihnya monopoli standar pembayaran oleh negara yaitu pada masa PM Shanyang di era Dinasti Qin. Kemudian Dinasti Qin (as state autority) mengeluarkan “uang kertas”. Disusul dengan metamorfosis cek dan giro. Mochtar meramalkan bahwa e-money akan menjadikan kartu ATM dan credit card menjadi “barang rongsokan.” (*mc/ken ken)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top