Nasional

Ahok Diminta Jangan Mabok Pujian Dan Reaksioner Dengan Pengritik

Nusantarakini.com, Jakarta – Hendaknya, hati Koh Ahok tidak berbunga-bunga atas demagogi tertentu, seperti tulisan Denny Siregar. Tulisan penuh sanjungan macam itu semestinya ga jadi suplemen untuk memperkuat prejudis Ahok terhadap figur-figur kritis terhadap “mulutnya” seperti Ratna Sarumpaet, Khoe SengSeng, Tjipta Lesmana, Bonnie Triyana etc. Sanjungan model begitu ga semerta-merta menyatakan bahwa ‘memaki seseorang sebagai anjing,’ menuding korban gusuran sebagai “pengintai turap” adalah sebuah sikap mengayomi dari seorang pemimpin. Ahok keliru bila semakin “teler” setelah membaca tulisan atau puja-puji semacam itu.

Di sini, bukan soal “like or dislike” terhadap sosok Ahok. Ada satu kelemahan Ahok; dia reaksioner. Dia sontak menilai seseorang yang mengkritik dirinya sebagai tanda bahwa si pengeritik benci atau sentimen kepadanya. Ada yang begitu. Banyak. Namun ada juga yang tidak demikian. Hendaknya Gubernur Ahok jangan ‘childish’.

Lepas dari itu semua, persetan dengan asumsi dan prejudis, sebaiknya Ahok dan para penjilatnya mengadakan kalkulasi secara riil, objektif dan faktawi. Kalau bisa, dilandasi dengan spirit cinta kasih (utopis ya?). Coba amati dan analisa poin-poin ini:

Apakah ada pertambahan kelompok or figur pendukung? Atau malah sebaliknya? Apakah elemen pembenci awal berbalik menjadi unsur loyalis atau malah sebaliknya? Kalkulasi sederhana model begini bisa dijadikan parameter awal menilai apakah Ahok arogant atau simply tegas non tedeng aling-aling.

Setau saya, FPI sejak awal sudah memposisikan diri sebagai grup kontra Ahok. Sekarang tetap demikian. Malah mungkin semakin “ganas” dan kritikal terhadap “mulut” Ahok. Ada figur seperti Rosiana Rahman, Denny Siregar dan fanz club macam “Teman Ahok” muncul. Who the hell are they?

“Mereka ikut tenar dengan mendompleng sang gubernur,” kata Mang Asep, mandor Sablon di CV. Prima Colour.

Jangan besar kepala dulu. Wait. Bukankah di extrim sebelah sana perna muncul “organ taktis” seperti Rajam Ahok (rakyat jahit mulut Ahok)? Lantas belakangan, organ koalisi “Lawan Ahok” pun lahir, sebagai tandingan fanz club “Teman Ahok”. Ga tanggung-tanggung, ada HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), Relawan Pejuang Kesehatan, Perhimpunan Magister Hukum Indonesia, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, dan Pemuda Gerindra sebagai unsur pembentuk.

Adanya “Pemuda Gerindra” sebagai salah satu elemen organ taktis “Lawan Ahok” merupakan sinyalemen bahwa Ahok digempur oleh underbouw ex partainya sendiri. Ini jelas sebuah set back.

Pembelahan front-front pro vs kontra jelas merupakan indikasi Ahok bikin kisruh suasana. Ini bukan kinerja ideal seorang pemimpin paten.

Sekali lagi, harap Elder brother Ahok ga terbuai oleh “rayuan pulau kelapa” dari demagog-demagog dan tukang curhat. Sebab, di kutub lain, kita punya sejumlah figur pendukung yang berubah menjadi oposisi. Sebut saja seorang Bonnie Triyana. Saya kira perubahan sikapnya lebih patut diperhatikan ketimbang cengar-cengir kege-eran membaca komentar Ustad Anton Medan yang memang sejak awal sudah menjadi teman. Sejak 2010, kata pa ustad kondang tersebut.

Peribahasa Tiongkok bilang, om Siauw Tiong Djin sering ingatkan ini kepada saya, “1000 teman masih kurang, 1 orang musuh sudah terlalu banyak.”

Ini kan pepatah top banget. Ahok jangan vulgar. Untaian kata nenek moyang itu asalnya dari kontemplasi mendalam. Mestinya dicamkan, ditanem ke dalam sanubari. Jadiin itu sebagai darah dan roh kita. Nah, back to Mr. Bonnie. Doi pernah nulis email begini ke saya:

“November tahun lalu gue diundang ke City University Hongkong, kasih ceramah soal Siauw Giok Tjhan di depan banyak orang-orang Tionghoa. Ada Leo Suryadinata juga ngomong bareng gue. Gua angkat Ahok setinggi langit. Tapi kalo dia begini caranya, mati kita semua.”

Bonnie sebut nama beken seperti Leo Suryadinata. Maksud Bonnie, kalo ga percaya, coba konfirmasi ke Bung Leo. Benar ndak si Bonnie ngomong begitu di Hongkong. Jadi, Bonnie lebih nyata dibanding “curahan hati” seseorang bernama Denny Siregar. Walau dibedah itu livernya, tetap kita ga tau apakah pujian setinggi langit, sampai-sampai Ahok disamakan sebagai “messenger of god”, adalah real thing atau sekedar taktik bikin Ahok lupa daratan alias mabok laut.

Saya punya kepentingan agar Ahok sukses, dicintai semua pihak, jadi anasir harmonisasi antar etnik. Impian saya, liat Ahok jadi faktor pendongkrak citra komunitas Tionghoa dan Kristen. Saya ga akan puji Ahok karena bondo nekad “menempeleng FPI”, seperti ditulis Denny. Bila saya terpaksa harus berkomentar untuk Ahok, maka saya akan bilang “rangkul FPI”. Jadikan mereka loyalis Ahok. Contoh dong, alm Siauw Giok Tjan yang mampu membuat musuh jadi kawan. Itu baru “jempol”. Ahok ga ngerti sejarah sih. Bisanya cuma marah dan ngomel. Ini politik bung! Bukan pasar.

Yang paling esensial bagi Ahok, cari tau apakah benar saat ini penggalangan via provokasi yang menjurus pada aksi “ganyang tionghoa” sudah mulai merebak atau tidak. Seberapa besar intensitasnya. Bila ada, apa sebabnya. Jika “mulutnya” jadi triger aksi itu maka semestinya Ahok mengevaluasi diri.

Seharusnya, tidak sulit buat Ahok sebagai gubernur, memperoleh informasi atau baket A1. Kan ada badan intel. Bukankah Ahok pernah jadi anak buah Letjen. Sutiyoso di Sutiyoso Senter. Sekarang sang jenderal bintang 3 sudah jadi Kepala BIN. Keterangan ini mungkin lebih valid dari wanti-wanti Jaya Suprana or Dr. Tjipta Lesmana. Namun tetep aza, seharusnya sebagai pemain politik handal, Ahok mesti punya tim intelijen sendiri. Sebagai sumber cross checking. (*MC)

 

Dikutip dari facebook Zeng Wei Jian

Foto: Tribunnews

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Terpopuler

To Top